Gerindra Kritisi Frasa 'Kekerasan' dalam RUU TPKS

Merdeka.com - DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR. Ada beberapa catatan kritis dari Fraksi Gerindra berkaitan dengan penyempurnaan frasa (kata) agar tidak menimbulkan makna ambigu.
"Kami berharap catatan-catatan yang kami kemukakan menjadi renungan, korektif dan konstruktif bagi kinerja legislatif kita semua," ucap juru bicara Fraksi Partai Gerindra Renny Astuti pada Rapat Paripurna ke-13 DPR RI Masa Persidangan III, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (18/1).
Renny mengatakan, F-Gerindra menaruh harapan besar terhadap penyusunan RUU TPKS yang pada awal pembahasannya memiliki nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Kata dia, F-Gerindra berharap kata 'kekerasan' dihapus, sehingga menjadi RUU Tindak Pidana Seksual.
"Menurut kami, kata 'kekerasan' identik bersifat fisik. Sementara dalam RUU ini juga mengatur tindak pidana seksual yang bersifat nonfisik. Selain itu kata 'kekerasan' bertendensi bahwa RUU ini lebih mengedepankan penindakan, padahal paradigma pencegahan jauh lebih penting atau setidak-tidaknya harus berimbang antara pencegahan dan penindakan," tuturnya.
Selanjutnya, F-Gerindra merasa perlu mengganti frasa 'dari kekerasan' menjadi 'dari ancaman ketakutan'. Sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 28 huruf g, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Untuk menimbulkan efek jera, sambung Renny, pelaku tindak pidana seksual perlu diberi hukuman yang lebih berat. Maka, frasa 'dan atau' pada pasal 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 perlu diganti dengan 'dan' saja.
"Artinya, pelaku tindak pidana seksual akan menerima hukuman penjara dan pidana denda. Hal tersebut juga untuk menutup kemungkinan dijatuhkan pidana denda saja," ujarnya.
Kemudian, perlu perumusan lebih jelas di pasal 5 mengenai pelecehan seksual berbasis elektronik. Dia menilai, Frasa 'segala sesuatu yang bermuatan seksual' diganti menjadi 'pornografi dan atau pornoaksi' sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
"Hal tersebut untuk melindungi pihak-pihak yang tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan seksual, agar tidak menjadi sasaran pasal tersebut. Misalnya pedagang alat kontrasepsi, atau obat sex yang biasanya juga mengirim produk contoh yang bermuat seksual kepada calon pembeli melalui media elektronik," terang Anggota Komisi IV DPR RI itu.
Renny menambahkan, pada pasal 18 dan pasal 43 yang memuat frasa 'tidak boleh menjustifikasi kesalahan, cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual korban dan atau saksi', berpotensi melindungi praktik sex menyimpang dan free sex. Gerindra berharap agar frasa 'cara hidup dan kesusilaan termasuk pengalaman seksual' dihapus dari kedua pasal tersebut.
Terakhir, Renny menilai pasal 66 tentang Peran Serta Keluarga sangat strategis dalam pencegahan tindak pidana seksual. Sehingga perlu ada penguatan pasal tersebut.
"berupa reward dan punishment kepada kepada keluarga yang aktif ataupun tidak aktif dalam pencegahan tindak pidana seksual," kata Renny.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya