Jejak Pluralisme dan Sastra Tionghoa di Banyumas

Merdeka.com - Sulit mencari tahu secara pasti, sejak kapan orang Tionghoa mulai tiba, menetap dan berbaur dengan masyarakat Banyumas. Pasalnya kedatangan mereka, sebagaimana di banyak tempat, tidak hanya dalam satu tempo. Tetapi bergelombang dengan rentang tahun berjauhan dan latar belakang masing-masing.
Bila mesti dibubuhkan dalam tarikh, jika sandaran awal diletakkan pada jejak keeratan interaksi antara masyarakat Banyumas dengan etnis Tionghoa, dimungkinkan bermula di abad ke-18. Informasi tersebut dapat ditimba dari sumber tertulis penjelajah Tionghoa semisal dalam buku Haidao Yizhi (Catatan-catatan Lepas Tentang Negeri-negeri Kepulauan, 1806) yang memetakan zhongzu (ras, suku, kelas) di pulau Jawa.
Wang Dahai, penulis buku tersebut memang tidak menyebut secara langsung daerah Banyumas. Akan tetapi ada sedikit petunjuk suatu daerah yang dalam uraiannya identik dengan Banyumas. Sebagai contoh, Wang menyebut penduduk Jawa (jumin) yang secara administratif diperintah sebagai wilayah Surakarta, dan salah satu kehidupan budaya setempat adalah pertunjukan Ronggeng yang dideskripsikan sebagai gadis-gadis pribumi yang menari (lihat Claudine Salmon, "Wang Dahai and his View of the 'Insular Countries', 2003).
Jika mengingat penulisan catatan perjalanan Wang itu disusun pada tahun 1783 sampai 1793, dan ratifikasi pencacahan tanah Banyumas oleh raja Surakarta mulai dilakukan pada 1744, maka angka-angka tahun tersebut sangat berdekatan dengan timbulnya kesenian Ronggeng yang menurut Sunaryadi dalam Lengger: Tradisi dan Transformasi (2000) bermula di Jatilawang dan Kalibagor, Banyumas pada tahun 1755.
Selain itu, Wang juga menyebut adanya interaksi yang erat antara penduduk pribumi dan Tionghoa, yakni keterkaitan peruntungan niaga dan Ronggeng sebagai agricultural ceremonies (upacara kesuburan). Diceritakan, pakter-pakter Tionghoa yang mendapat penghasilan dari sarang burung walet kerap melakukan upacara mengundang Ronggeng sebelum pengumpulan sarang walet dimulai. Bahkan secara detail, Wang menulis begini:
"…mereka membangun sebuah gubuk di dekat tempat itu, dan setelah mendapat hari baik, mereka mempersembahkan korban dan memanggil gadis-gadis penari, atau Ronggeng, untuk menyanyi dan menari pada kesempatan tersebut."
Jika, upacara mengundang ronggeng tersebut diasumsikan sebagai hayat Tionghoa mengikuti adat-istiadat pribumi, maka orang Tionghoa yang tinggal di daerah Banyumas waktu itu bisa dikategorikan sebagai Sit lam yakni orang Tionghoa yang menghayati laku budaya masyarakat Jawa.
Jejak Karya
Tentu saja, mendasarkan jejak langkah Tionghoa di Banyumas dengan bersumber pada catatan Wang Dahai semata, hanya akan menimbulkan sekian asumsi.
Bukti nyata kehadiran orang Tionghoa di Banyumas dapat ditelusuri dari surat resmi Residen J.E. de Sturler kepada Johannes van den Bosch pada 13-9-1832 sebagaimana dikutip Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011). Isi surat tersebut menyebutkan bahwa saudagar Tionghoa, yang kehadirannya menandai kemakmuran suatu daerah, jumlahnya di Banyumas hanya ada sedikit dan pada umumnya sangat miskin.
Sebabnya, meski Banyumas merupakan wilayah kekuasaan terluas Surakarta di wilayah barat, pertanian dan perniagaan benar-benar terlantar sebab para ngabehi (wedana) Surakarta menerapkan pajak tinggi dengan menyelewengkan uang pajak 1.000 real, untuk dikantongi sendiri sebesar 800 real.
Jejak hayat yang lain, tentunya adalah karya sastra Tionghoa, yang membuktikan bahwa mereka mengenal dan menjalin hubungan komunikasi dengan penduduk pribumi serta tertarik dengan budaya setempat.
Sastrawan Ahmad Tohari menyimpan karya salah satu penulis Tionghoa yang menulis budaya masa silam Banyumas dalam bentuk novel di kediamannya. Pengarang tersebut, adalah Liem Khing Hoo, novelis 'etnografis' yang dikenal mempunyai pengetahuan mendalam mengenai sejarah Jawa dan mendalami masyarakat suku-suku terasing sebagai bahan perbandingan untuk memikirkan kembali tentang masyarakatnya. Pada Maret 1936, dalam Tjerita Roman edisi VII No.87, ia menulis novel berjudul Gowok dengan nama pena Romano.
"Novel ini mengangkat tema coueleur local, yaitu adat turun temurun gowokan di Dusun Soediredja, Banyumas Wetan," kata Ahmad Tohari.
Gowok sebagai salah satu tradisi Banyumas di masa silam, dijelaskan Tohari menetapkan satu aturan bahwa seorang jejaka menjelang nikah mesti terlebih dahulu tinggal dengan seorang gowok dalam waktu tertentu, umumnya 10 malam. Selama masa pergowokan dijalankan, tentu dengan membayar sejumlah uang yang besarnya ditentukan oleh kecantikan sang gowok, si jejaka akan diajarkan tata cara memperlakukan istri juga diuji kegagahannya oleh gowok agar nantinya tak mendapat malu ketika melakoni malam pengantin baru.
Dalam novel itu, kisah dimulai oleh Romano dengan menggambarkan situasi perdebatan yang terjadi pada anggota keluarga priyayi menyangkut pro dan kontra terhadap imbauan adat. Tokoh Soeganda yang terpelajar, menganggap gowokan sebagai tradisi hina, tak sesuai dengan norma kesantunan masyarakat beradab. Sedang Lurah Wira, sang ayah, bersikukuh bahwa gowokan musti dipertahankan sebagai penghormatan pada peninggalan leluhur yang berpandangan bahwa 'gowok telah korbanken kasoetjiannja goena kaberoentoengannja laen prempoan' (Gowok. h.10).
Tohari menegaskan kehadiran novel Gowok juga memperlihatkan interaksi literer antara masyarakat Banyumas dengan media cetak Tionghoa. "Hal ini terlihat dari polemik yang ditulis pembaca usai membaca novel Gowok," kata Tohari.
Polemik tersebut terjadi di majalah mingguan Sin Po XIX no 963. Pada 13 Sept 1941 dimuat resensi novel tersebut, pada edisi Sin Po berikutnya yakni no 964, A Soejadi warga Purwokerto, Banyumas, mengirim balasan resensi dengan menyatakan bahwa tradisi gowok sudah tak ada lagi.
Menjawab balasan resensi tersebut, penerbit Sin Po lalu menyebutkan suatu karangan lain dari B. Prawoto yakni Tijdshrift voor Indische Taal-Land-en Volkenkunde, 1931 yang memastikan bahwa gowok masih dipertahankan dalam daerah Banjarnegara dan Bukateja yang dekat Banyumas (lihat Claudine Salmon, Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. 2010, h. 393)
Mozaik Sejarah
Memetik mozaik sejarah di atas, setidaknya secara sepintas terlihat bahwa kebudayaan lokal menjadi sarana keterbukaan dalam arti luas yang memiliki satu benang merah bahwa betapa erat interaksi antara kaum peranakan Tionghoa dan orang Banyumas sejak abad ke-18. Sayangnya, untuk memperoleh gambaran yang lebih baik tentang bagaimana jejak langkah Tionghoa di Banyumas diterima di tingkat lokal, kajian itu masih terbentur minimnya literatur.
Tapi yang tak remeh, catatan-catatan tersebut menampilkan keduanya sebagai warga sipil Banyumas yang menolak tinggal dalam sebuah lingkungan warna kulit, tetapi saling berbaur membiarkan satu sama lain saling menyerap. Dan di sanalah kekayaan multikultural juga pluralisme dalam bingkai budaya dan sastra masih menunggu para penggalinya.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya