Kisah Mbah Fanani, pria misterius tapa 19 tahun di Dieng
Merdeka.com - Dieng merupakan daerah yang terkenal dengan candi dan wisata alamnya. Banyak orang dari berbagai daerah, bahkan luar negeri mengunjungi dataran tinggi Dieng karena ingin melihat keindahan wisata tersebut.
Sama dengan para wisata yang lain, beberapa hari lalu merdeka.com mengunjungi daerah yang sangat dingin itu. Saat mencari penginapan, ada pemandangan unik di Jalan Raya Dieng, RT 1 RW 1, Desa Diengkulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah itu.
Sebuah tenda terbuat dari terpal berdiri di depan rumah warga tepat di pinggir jalan tersebut. Saat bertanya kepada warga soal tenda itu, ternyata di dalamnya ada 'penghuni' yang sudah 19 tahun tinggal menetap. Dia adalah Mbah Fanani, begitu warga menyebutnya.
-
Dimana letak makam misterius? Di Kota Salatiga, terdapat sebuah makam tunggal misterius yang letaknya berada di pekarangan rumah warga.
-
Dimana desa ini berada? Dalam sejarah kuno India yang penuh dengan kisah keagungan, mistis, dan praktik kebudayaan yang unik, desa Shani Shingnapur menjadi sorotan karena fakta yang menarik – rumahnya tidak memiliki pintu dan kunci.
-
Siapa yang dimakamkan di makam misterius? Dilansir dari kanal YouTube Tri anaera vloger, jasad yang dimakamkan di situ adalah seorang pemilik perkebunan kayu sekaligus penjual kayu olahan. Namanya Williem Gerard Herman van Blommstein.
-
Di mana makam kuno itu berada? Arkeolog dari Universitas Tehran menemukan sisa-sisa tengkorak bocah berasal dari 3.000 tahun lalu selama penggalian di sebuah situs pemakaman kuno di wilayah Segzabad, Provinsi Qazvin, di Iran.
-
Bentuk seperti apa makam misterius? Makam itu dibuat memanjang dengan masing-masing ujungnya berbentuk setengah lingkaran. Sekilas makam itu mirip dengan makam Yahudi di kompleks makam Bergota Semarang.
Tidak ada yang tahu asal usul Mbah Fanani. Begitu juga dengan maksud dan tujuan Mbah Fanani tinggal belasan tahun di tenda berukuran 2x3 meter itu. Sebab, pria sekitar umur 60 tahunan itu tidak pernah bicara sepatah kata dengan siapa pun selama tinggal di tenda.
"Ngga ada yang tahu tujuannya ngapain di situ, nggak pernah ngomong dari dulu, cuma diam di dalam tenda nggak pernah ke mana-mana, saya pun hanya kasih makan saja" kata seorang warga, Uripah, yang rumahnya persis di depan tenda Mbah Fanani saat ditemui beberapa hari lalu.
Untuk memastikan cerita warga, merdeka.com mencoba memasuk ke tenda Mbah Fanani. Ketika masuk mengucapkan salam, hanya lambaian tangan yang dia lakukan pertanda mempersilakan masuk. Sambil berselimut kain hitam dia hanya duduk, sorot matanya tajam melihat setiap orang yang mendatanginya. Rambutnya gimbal dan panjang terurai memenuhi tenda. Kumis serta jenggot yang panjang membuat Mbah Fanani terlihat menakutkan.
Dalam tendanya, banyak tumpukan botol air mineral dan beberapa bungkus makanan ringan. Menurut warga, minuman dan makanan tersebut dibawa oleh setiap tamu yang mengunjungi Mbah Fanani.
Salah seorang warga Widodo (55) menceritakan, pada tahun 1990 an pertama kali Mbah Fanani datang ke Wonosobo dan bertapa di Desa Stieng di bawah batu besar. Karena warga di desa tersebut tidak suka keberadaannya, Mbah Fanani diusir. Akhirnya pada tahun 1996 dia pindah ke Jalan Raya Dieng, RT 1 RW 1, Desa Diengkulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, tempat dia menetap saat ini.
"Kalau tinggal di sini 19 tahun, awalnya di Desa Stieng. Pas datang ke desa ini dia duduk di depan rumah Pak Ono. Ditanya nggak mau ngomong. Berhari-hari terus di situ akhirnya warga buatkan tenda untuknya," cerita Widodo.
Pertama kali, katanya, tenda yang dibuatkan warga hanya dari terpal plastik. Karena sering rusak, setiap tiga bulan sekali warga mengganti tenda tersebut. Namun baru-baru ini warga mengganti dengan terpal yang tebal dan kuat.
Dia mengatakan, tidak ada yang mengetahui dengan pasti asal usul Mbah Fanani. Hanya saja dari beberapa orang yang pernah mengaku sebagai kelurganya, Mbah Fanani berasal dari Cirebon, Jawa Barat.
"Banyak yang ngaku keluarga dan bilang Mbah Fanani orang Cirebon, Sindang Laut," ungkapnya.
Awalnya warga Diengkulon pun tidak mengetahui bahwa nama pria itu Fanani. Nama Fanani disebutkan oleh seorang yang mengaku sebagai keluarganya.
"Pas ke sini warga nyebut Mbah Slamet, soalnya nggak tahu namanya. Kami sebut Mbah Slamet harapannya supaya desa ini selamat adanya dia. Tapi pas ada keluarganya bilang namanya Mbah Fanani yaudah disebut Mbah Fanani," cerita ketua RT 1 Diengkulon, Taifin.
Hingga saat ini, warga setempat belum mengetahui sampai kapan Mbah Fanani akan bertapa di desa itu. (mdk/hhw)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ia ditemukan setelah ada laporan soal orang hilang dari Dinas Sosial.
Baca SelengkapnyaKorban diketahui keluar dari rumah pada malam Iduladha. Teman yang menjemputnya juga dilaporkan belum diketahui keberadaannya.
Baca SelengkapnyaSyawalan itu digelar di puncak bukit. Puluhan ribu warga hadir dalam acara itu
Baca SelengkapnyaAsal-usul Panai, kerajaan kecil dengan banyak peninggalannya.
Baca SelengkapnyaHingga kini, desa ini terkenal aman karena maling tidak berani beraksi di sini
Baca SelengkapnyaIa mengaku lebih suka tinggal di makam karena suka dengan keheningan.
Baca SelengkapnyaPenemuan candi ini begitu misterius karena tidak ada bukti mengenai siapa yang membangun dan kapan dibangun.
Baca SelengkapnyaMbah Man sendiri sudah berpengalaman selama puluhan tahun dalam pemugaran candi.
Baca SelengkapnyaBerikut kisah Tantowi Yahya yakin bertemu dengan malaikat di Masjid Nabawi.
Baca SelengkapnyaUsai jalan depan ruamhnya di aspal, pria ini melakukan nazar dengan jalan merangkak sejauh 1 KM menuju balai desa.
Baca Selengkapnya