Perjuangan Firmansyah, Mahasiswa Garut Tak Malu Nyambi Ngojek dan Jualan Aci demi Bisa Kuliah & Tak Terus Hidup Miskin
Firman berjuang keras untuk mengangkat derajat keluarganya yang selama ini hidup miskin.
Firman berjuang keras untuk mengangkat derajat keluarganya yang selama ini hidup miskin.
Perjuangan Firmansyah, Mahasiswa Garut Tak Malu Nyambi Ngojek dan Jualan Aci demi Bisa Kuliah & Tak Terus Hidup Miskin
-
Apa usaha yang sukses dijalankan Fitri? Fitri dan suami memulai usaha peyek belut pada tahun 2005.
-
Kenapa usaha Fitri sukses? Keberhasilan pertamanya datang ketika banyak teman dan tetangga mulai menitipkan belut untuk dijual kembali. Fitri yang awalnya hanya menjadi pengepul, akhirnya melihat peluang untuk mengolah peyek tersebut menjadi produk camilan peyek belut.
-
Bagaimana Futri menunjukkan semangat belajarnya? Dalam unggahan di Instagram dan TikTok, Futri menunjukkan semangat besar untuk melanjutkan pendidikan.
-
Bagaimana anak kurang mampu bisa kuliah di UGM? Ada banyak cara agar mereka bisa berkuliah di perguruan tinggi favorit. Salah satunya dengan menjadi siswa berprestasi dan masuk ke universitas favorit dengan jalur prestasi.
-
Kenapa Peternak muda di Nganjuk sukses? Nizar tak menyangka ikhtiarnya selama ini berbuah manis. Menurutnya, menjadi peternak cukup sulit dan membutuhkan konsistensi serta ketelitian dalam merawat hewan-hewan peliharaannya.
-
Kenapa Fahmi Bo harus jualan gorengan? Fahmi Bo, seorang artis yang pernah mengalami kesulitan ekonomi akibat penyakit stroke yang membuatnya sulit bekerja. Ia pernah menjajakan gorengan, kue, bahkan membantu menjual pecel lele dan menjadi sopir Aziz Gagap.
Firmansyah menjadi salah satu mahasiswa Universitas Garut (UNIGA) yang mungkin akan berpikir ulang bila harus hidup bermewah-mewah seperti banyak kehidupan anak seusianya. Sebab yang dipikirkannya setiap hari adalah bagaimana bisa mengumpulkan pundi-pundi uang dari usaha yang ditekuninya.
Meski berstatus sebagai mahasiswa jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian UNIGA, ternyata Firmansyah juga menyambi sebagai pedagang aci gulung (cilung). Jauh sebelum menjadi penjual aci gulung, Firman juga sempat menjadi tukang ojek pangkalan (opang) dan berdagang seblak.
Firman adalah warga Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sudah beberapa semester ia kuliah di Garut, yang jaraknya puluhan kilometer dari kampung halamannya.
Anak ke 4 dari 5 bersaudara ini bercerita. Urusan mental, sudah diasah oleh orang tuanya, Suhendar dan Ratna, sejak kecil. Hal itu pula yang membuatnya tidak sedikitpun gengsi melakukan dua aktivitas berbeda, sebagai mahasiswa dan pedagang.
"Saya terlahir dari keluarga miskin, jadinya mental sudah diasah oleh kedua orang tua saya. Tapi saya juga memiliki tekad untuk mengubah nasib keluarga, jadinya setelah lulus SMA mau langsung kuliah," kata Firman.
Bermodal tekad untuk memerdekakan keluarganya dari kemiskinan, Firman akhirnya memulai kuliah di tahun 2021. Dia memilih jurusan Agroteknologi karena melihat peluang besar untuk berwirausaha nantinya.
Di awal-awal masa kuliah, Firman sempat sedikit tertolong karena pembelajaran berlangsung secara daring mengingat saat itu masih pandemi Covid-19. Tetapi, persoalan muncul ketika pemerintah membolehkan kegiatan perkuliahan secara tatap muka, ia terpaksa bolak-balik Bandung-Garut untuk kuliah setiap hari untuk mengurangi pengeluaran. Sekadar diketahui, jarak Bandung dan Garut lebih kurang 2 jam.
Permasalahan yang muncul tak sampai di situ. Sulitnya ekonomi keluarga membuat Firman terpaksa nyambi tukang ojek pangkalan di sekitar rumahnya di Kampung Bojong Pulus, Desa Bojongloa, Rancaekek, Kabupaten Bandung. Biasanya, Firman ngojek sejak subuh menggunakan motor tua warisan orang tua agar tak mengganggu perkuliahan.
Selesai ngojek, ia langsung berangkat ke Garut untuk kuliah dan setelah selesai kembali ke Bandung. Kegiatan itu rutin dilakukannya hampir setiap hari kala itu.Meski sudah pontang panting ngojek, ternyata penghasilan di dapat tidak mencukupi kebutuhan hariannya ketika kuliah di Garut.
"Untuk bisa berangkat kuliah setidaknya harus ada uang Rp50 ribu per hari untuk beli bensin dan makan," ucapnya.
Akhirnya, Firman kembali memutar otak agar bisa mendapat penghasilan tambahan agar kegiatan perkuliahannya di Garut tidak terganggu. Ia kemudian berpikir jualan dan ternyata solusinya ada di depan mata.
Salah satu kakak Firman adalah penjual seblak. Dia kemudian tertarik mencoba untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Selang beberapa waktu, dua kegiatan itu ternyata tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomiannya.
Sampai akhirnya Firman mengambil keputusan nekat dan juga berat, ia berhijrah ke Garut dengan motor tuanya. Beruntungnya, ia dipertemukan dengan teman-teman yang baik sehingga diberikan kesempatan tinggal di kontrakan mereka meski tanpa harus menyumbang apa-apa. Setelah itu, dia memilih untuk berjualan cilung keliling dari kampung ke kampung. Meski cerita tak seindah fakta, Firman terus berjuang.
"Pernah lah jualan ga laku sama sekali, uang semesteran nunggak ke kampus berkali-kali karena memang tidak punya uang. Istilahnya, jangankan untuk bara kuliah, untuk makan juga kadang saya masih harus mikir, hari ini, besok makan enggak ya," sebutnya.
Namun walau begitu, Firman mengaku tidak pernah patah semangat karena dirinya berprinsip bahwa yang terpenting adalah melakukan segala upaya dengan maksimal dan ikhlas. Kaitan dengan hasil dan tidaknya, ia serahkan kepada Allah.
Firman bercerita bahwa selama berjualan ia menghadapi banyak cerita yang tidak mungkin dilupakan, baik yang menyenangkan maupun menyedihkan. Yang menyedihkan, di tiga bulan pertama jualan cilung ia tidak memiliki satu pun pelanggan.
“Kadang pulang tak satupun Cilung yang terjual. Pernah juga diusir pedagang lama di lokasi jualan karena katanya engga boleh. Memang ada yang menolak langsung ada juga yang halus, mungkin takut tersaingi, padahal kan urusan rezeki udah ada yang atur.
Akibat keuangan tak stabil, pernah beberapa kali Firman menunggak uang kuliah sampai harus meminta surat pernyataan agar bisa tetap mengikuti ujian. Untuk bisa menutupnya, temannya sampai memberikan pinjaman dan dibayar cicil hasil dari jualannya.
Meski menghadapi persoalan yang cukup sulit, Firman mengaku tidak pernah menceritakannya kepada siapapun, termasuk ke teman satu kontrakannya. Itu karena dirinya tidak ingin membuat orang lain susah dan khawatir. Selain itu juga menurutnya bisa saja ada orang-orang yang kondisinya tidak lebih baik dari dirinya.
“Kenapa saya harus mengeluh, jadi ya jalani saja dengan ikhlas, dan serahkan semua kepada Allah,” katanya.
Firman mengaku bahwa uang hasil penjualannya sebagai tukang cilung bukan hanya untuk biaya sehari-hari dan kuliahnya saja. Uang hasil keringatnya itu dikumpulkan untuk membayar utang orang tuanya yang terjerat pinjaman rentenir dan sempat dikambing hitamkan memiliki utang Rp30 juta.
"Ternyata utang ibu saya hanya Rp 8-12 jutaan. Insya Allah saya mau cicil sampai lunas," katanya.
Setelah hampir satu tahun jualan cilung, Firman mengaku saat ini sudah mendapatkan ritme jualan dan memiliki pelanggan sehingga penghasilannya mulai stabil. Kini, dalam sehari ketika ramai bisa menghasilkan uang Rp140 ribu perhari sebelum dipotong bahan baku dan operasional.
“Tapi apapun kondisinya saya akan terus berjuang. Saya ingin cepat lulus kuliah dan membahagiakan orang tua,” pungkasnya.