Perlu 'Kebisingan' Melawan TBC di Indonesia
Merdeka.com - Dokter Spesialis Paru dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Erlina Burhan menyatakan diperlukan adanya tindakan yang berani agar bisa mencapai target eliminasi penyakit Tuberkulosis (TBC) pada tahun 2030 di Indonesia.
"Jika kita melanjutkan ‘bisnis seperti biasa’, kita tidak akan dapat mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2030. Jadi silakan berinvestasi dan membuat 'kebisingan'. Ini yang saya katakan," kata Erlina dalam Webinar 1st Health Working Group Side Event on Tuberculosis-Day 2 yang diikuti di Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu (30/3).
Erlina menuturkan, seluruh pihak sangat fokus dan saling berkolaborasi menangani Covid-19, baik dari pemerintah ataupun tenaga kesehatan. Namun sayangnya, hal yang tidak berlaku bagi pasien tuberkulosis.
-
Siapa yang terkena dampak terbesar TB di Indonesia? Di Indonesia sendiri, Kementerian Kesehatan melaporkan lebih dari satu juta kasus TB setiap tahunnya, dengan mayoritas kasus terjadi pada kelompok usia produktif.
-
Kenapa kasus TB di Indonesia masih tinggi? Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingginya kasus TB di Indonesia antara lain kepadatan penduduk di kota-kota besar, seperti Jakarta, yang memudahkan penyebaran bakteri.
-
Kenapa penderita TBC di Cianjur meningkat? Berdasarkan catatannya, kasus TBC di Kabupaten Cianjur pada 2021 sebanyak 4.643, lalu di 2022 menjadi 7.107 dan di 2023 per Januari sampai Juli terdapat 3.403 kasus.
-
Kapan TB pertama kali ditemukan di Indonesia? Penyakit TB pertama kali tercatat di Indonesia pada masa kolonial, dan kala itu dikenal sebagai penyakit yang sangat mematikan, terutama di kalangan masyarakat miskin dan padat penduduk.
-
Kenapa angka DBD di Indonesia terus meningkat? Demam berdarah dengue terus menjadi beban serius di Indonesia. Setiap tahun, ribuan kasus dilaporkan di seluruh negeri, menyebabkan beban yang signifikan pada sistem kesehatan.
-
Kapan puncak kasus DBD di Indonesia? Hingga minggu ke-41 tahun 2024, atau sekitar bulan Oktober, tercatat 203.921 kasus dengue dengan 1.210 kematian.
Sehingga diperlukan sebuah tindakan berani agar pasien tuberkulosis dapat terpantau dan terlayani dengan baik. Salah satu yang bisa dilakukan adalah mencontoh penanganan dari Covid-19 yang tegas dalam menerapkan protokol kesehatan.
Adanya penerapan 3M seperti memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak ternyata juga cocok digunakan sebagai upaya pencegahan penyakit pernapasan yang menular lainnya seperti tuberkulosis, SARS, Mers, Ebola, Zika ataupun pandemi yang disebabkan oleh infeksi lainnya.
Menurut Erlina, pelacakan kasus tuberkulosis juga dapat dilakukan melalui penggunaan aplikasi digital seperti yang dilakukan oleh Aplikasi PeduliLindungi dan fitur baru Sijejak untuk menemukan kasus ataupun kontak erat.
"Kita tahu digital platform digital. Katakanlah, pengobatan bagi para penderita lewat Video Observer Treatment (VOT). Saya kira platform digital perlu juga untuk TBC," ujar Erlina.
Erlina menekankan, adanya sebuah tindakan yang berani amat sangat diperlukan bagi para penderita tuberkulosis. Sebab, pandemi Covid-19 telah memberikan dampak bagi semua penderita tuberkulosis.
Pasien tidak bisa datang ke fasilitas kesehatan meskipun memiliki gejala dan tidak melanjutkan konsumsi obat meskipun sudah habis.
Pandemi juga menyebabkan terjadinya gangguan pada layanan diagnostik dan pengobatan tuberkulosis. Tak hanya itu, pendanaan dari pemerintah dan deteksi pada kasus tuberkulosis juga mengalami penurunan.
Akibatnya, terjadi peningkatan angka kasus resistensi obat, angka kematian juga pada angka penularan.
Oleh karenanya, dirinya berharap setiap pihak baik dari pemerintah maupun non-pemerintah dapat berkolaborasi guna menghasilkan sebuah inovasi ataupun cara untuk mengelola dan mengobati para pasien tuberkulosis khususnya pada era pandemi Covid-19.
“Ini sangat melelahkan. Jadi tolong fokus juga pada pengobatan preventif (bagi pasien TBC),” ujar dia.
Data TBC di Indonesia
Penyakit tuberkulosis (TBC) di Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia, setelah India dan China. Jumlah kasus TBC yang ditemukan di Indonesia tercatat sebesar 824.000 dan kematian 93.000 per tahun atau setara dengan 11 kematian per jam.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana melakukan skrining besar-besaran tahun ini untuk menemukan dan mengobati kasus tersebut. Upaya ini dilakukan mengingat dari total kasus TBC, baru 49 persen yang ditemukan dan diobati.
Sementara itu, ada sekitar 500.000-an orang yang belum diobati dan berisiko menjadi sumber penularan TBC.
"Untuk itu, upaya penemuan kasus sedini mungkin, pengobatan secara tuntas sampai sembuh merupakan salah satu upaya yang terpenting dalam memutuskan penularan TBC di masyarakat," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Didik Budijanto dikutip dari siaran pers Kemenkes, Rabu (23/3).
Didik menyebut, Kemenkes akan menskrining TBC terhadap 500.000 kasus yang belum ditemukan. Skrining dilakukan dengan peralatan X-Ray Artificial Intelligence untuk memberikan hasil diagnosis TBC yang lebih cepat dan lebih efisien.
"Termasuk bi-directional testing bagi penderita diabetes agar mereka mendapatkan pengobatan TBC sedini mungkin," ucapnya.
Saat ini, Kemenkes tengah mengupayakan pengadaan alat-alat yang dibutuhkan untuk pelaksanaan skrining TBC. Dia yakin melalui proses skrining ini, pemerintah bisa mempercepat eliminasi TBC di tahun 2030.
Dia menjelaskan, sebanyak 91 persen kasus TBC di Indonesia adalah TBC paru yang berpotensi menularkan kepada orang yang sehat di sekitarnya. Saat ini, penemuan kasus dan pengobatan TBC yang tinggi telah dilakukan di beberapa daerah di antaranya Banten, Gorontalo, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat.
Sementara daerah dengan kasus TBC paling banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
"Sebenarnya TBC itu biasanya ada di daerah yang padat, daerah kumuh, dan daerah yang PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)-nya kurang, di situ potensi penularan TBC nya tinggi," jelas Didik.
Dia kemudian mengungkapkan gejala-gejala awal muncul TBC yang perlu dikenali masyarakat. Misalnya seseorang mengalami batuk karena TBC menyerang saluran pernapasan dan juga organ pernapasan.
Batuk yang terjadi berdahak terus-menerus selama 2 sampai 3 minggu atau lebih. Kemudian sesak napas, nyeri pada dada, badan lemas dan rasa kurang enak badan, nafsu makan menurun, berat badan menurun, dan biasanya yang muncul adalah berkeringat pada waktu malam hari meskipun tidak melakukan kegiatan apapun.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
"Tiap tahun di dunia sekitar 1,3 juta orang meninggal atau dua setengah orang per menit meninggal di dunia," kata Budi
Baca SelengkapnyaTuberkulosis merupakan tantangan yang masih dihadapi oleh Indonesia hingga saat ini.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi memberikan arahan agar disiapkan karantina khusus berdekatan dengan lokasi di mana tuberkulosis itu terjadi.
Baca SelengkapnyaPenyiapan tempat karantina ini untuk mencegah penularan TBC di Indonesia.
Baca SelengkapnyaPemeriksaan skrining juga dilakukan kepada masyarakat yang mengalami batuk- batuk lebih dari tiga bulan.
Baca SelengkapnyaJasa Raharja mengakui angka kecelakaan lalu lintas memang mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 15 hingga 17 persen.
Baca SelengkapnyaLebih dari 350 juta orang di seluruh dunia menderita hepatitis
Baca SelengkapnyaNamun, hingga saat ini Indonesia masih menempati posisi kedua kasus malaria tertinggi di Asia setelah India.
Baca SelengkapnyaKementerian Kesehatan mencatat, hingga minggu ke-15 tahun 2024, terdapat 475 orang meninggal karena DBD.
Baca SelengkapnyaJumlah korban meninggal dunia itu berasal dari 62.001 kasus DBD yang teridentifikasi.
Baca SelengkapnyaHingga minggu ke-12 di tahun 2024, ditemukan sebanyak 43.271 kasus DBD dengan total jumlah kematian sebanyak 343 jiwa.
Baca SelengkapnyaSejumlah pasien demam berdarah dengue sampai saat ini masih menjalani rawat inap.
Baca Selengkapnya