Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

PGRI Ingatkan Mendikbud Tak Hanya Urus UN Tapi Kompetensi dan Kesejahteraan Guru

PGRI Ingatkan Mendikbud Tak Hanya Urus UN Tapi Kompetensi dan Kesejahteraan Guru Diskusi Polemik Terkait Penghapusan Ujian Nasional. ©2019 Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra

Merdeka.com - Ketua PB PGRI, Didi Suprijadi, meminta Menteri Menteri Pendidikan Nadiem Makarim tak hanya fokus pada penghapusan Ujian Nasional (UN) semata. Tapi harus melihat dari sisi gurunya.

"Guru ini spesiesnya begitu banyak. Jadi segi kualitas berbeda. Jadi kalau gurunya tak dibenahi, agak tertatih-tatih membenahi. Kemendikbud itu gak punya guru. Hanya provinsi dan kabupaten/kota, Kemenag Madrasah," kata Didi di Jakarta, (14/12).

Dia menegaskan, selama ini UN sudah berubah-ubah nama. Tapi lupa peran akan guru.

"Kalau guru enggak dibenahi mohon maaf. DKI 15 juta, Tangerang enggak segitu. Guru honorer 300 ribu. Gimana bicara assessment kalau guru masih lapar," jelas Didi.

PGRI Pernah Kaji UN Dihapus Tapi Menguap

Dia menambahkan, sebenarnya dari hasil survei kecil-kecilan yang dilakukan pihaknya tahun 2012, bahwa 70 persen setuju itu dihapus.

"Urusan setuju tidak setuju kami dari PGRI, sudah kecil-kecilan mengadakan survei. Hampir seluruh guru 70 persen, diubah atau dihapus. Riset ini tahun 2012. Kepala Sekolah juga begitu 71 persen, begitu juga pengawas juga mengatakan seperti itu," kata Didi dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu (14/12/2019).

Menurut dia, ini disampaikan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tapi menjadi angin lalu saja.

"Riset tahun 2012 ini sudah disampaikan, waktu zamannya Pak SBY. Tapi, angin lalu juga," jelas Didi.

Menurut dia, penerapan UN ini bagi guru sebenarnya susah-susah gampang. Karena banyak variabel yang diperhatikan.

"Ada prinsip di situ, tanggung jawab, akuntabel," tegas Didi.

Di tempat yang sama, CEO Aku Pintar yang juga representasi anak milenial, Lutvianto Pebri Handoko, memandang UN itu hanya berada ditahap melihat nilai semata. Di universitas hal tersebut enggak digunakan, lantaran harus menggunakan nilai di SNMPTN.

Bahkan, masih ada paradigma, anak pintar itu kalau nilai matematika atau fisikanya tinggi. Bukan yang ahli di bidang olahraga atau seni budaya.

"Masuk universitas, itu enggak dipakai lagi. Anak pintar itu ketika matematika 100, fisika 100. Padahal skill di karate atau nyanyi itu bagus," pungkasnya.

(mdk/lia)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP