Potret kemiskinan Wayan Tami di tengah hingar bingar Kota Denpasar

Merdeka.com - Nasib Ni Wayan Tami, warga banjar Padapadan, Pengotan Bangli, benar-benar sangat memprihatinkan. Belasan tahun wanita paruh baya ini hidup menyepi dalam gubuk reyot ditemani anak semata wayangnya, Wayan Suarman (13).
Ironisnya gubuknya berada di sebuah jurang yang rawan longsor diapit dua tebing perbatasan dusun Padapadan dengan dusun Penyebeh di Kabupaten Bangli di Bali.
Untuk mencapai istana mungil Tami dengan berjalan kaki Setelah melewati hutan bambu, tampak posisi rumah berukuran 2 x 3 meter yang ditempatinya itu, tidak jauh dari tebing yang mengapit kawasan tersebut.
Begitu menginjakkan kaki di gubuk Tami, sudah terasa keprihatinan. Pasalnya, di sana lantai beralas tanah dengan beratap asbes lengkap dengan lubang di sana sini. Praktis, jika hujan turun, langit-langit asbes akan meneteskan air hujan tepat di lubang-lubang yang menganga. Sementara itu, dinding gubuk juga sudah terlihat lapuk di sana sini.
Jika malam, Ni Wayan Tami beserta anaknya Wayan Suarman akan merasakan gelap gulita. Lantaran, tidak adanya aliran listrik yang menerangi istana mungil mereka.
Meski demikian, Ni Wayan Tami mengaku tetap betah tinggal di tempat tersebut. "Yang tidak ada pilihan lain," ungkapnya.
Ia terpaksa tinggal di tempat tersebut bersama anaknya, untuk menghindari persoalan keluarga. Sebab, status yang bersangkutan sebagai istri ke-2 dari I Wayan Genep.
"Saat umur anak saya satu tahun sudah tinggal di sini. Sejak saat itu, anak sudah tidak mendapat perhatian dari ayahnya lagi," curhatnya.
Otomatis, agar Wayan Suarman bisa merasakan bangku sekolah, Ni Wayan Tami harus banting tulang sebagai buruh serabutan dengan penghasilan yang tak seberapa. Karena itu, dirinya mengaku pasrah dengan kondisi rumahnya yang difungsikan untuk tempat tidur sekaligus dapur tersebut.
"Perbaikan yang bisa saya lakukan sebatas memperbaiki atap yang bocor dibantu anak ini," ungkapnya.
Sementara itu, kisah kehidupan anaknya juga tak kalah memprihatinkan. Untuk membantu orang tuanya, I Wayan Suarman, sejak kecil sudah terbiasa bekerja sebagai buruh pembuat kotak jeruk. Karena pekerjaannya itu, Suarman pun harus merelakan kehilangan empat jari tangan kanannya karena terkena sircle (alat pemotong kayu).
Kerasnya hidup masa kecilnya itu, kini terus berlanjut. Sebab, untuk mengenyam pendidikan, siswa yang kini telah duduk di bangku kelas 6 SDN 3 Pengotan ini, sehari-hari harus jalan kaki sejauh 2 km menuju ke sekolahnya.
"Karena jalannya berlumpur, sepatu saya titipkan disekolah agar tidak kotor," ceritanya.
Meski demikian, tidak ada keluh kesah yang dia sampaikan. "Biarpun hujan saya tetap sekolah. Pulangnya saya langsung membantu ibu," tandasnya.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya