Putusan MK: Anggota Parpol Harus Mundur Minimal 5 Tahun Sebelum Jadi Jaksa Agung
MK menyatakan, pengurus parpol yang akan diangkat menjadi Jaksa Agung harus lebih dulu berhenti dari kepengurusan parpol sekurang-kurangnya 5 tahun.
MK menyatakan, pengurus parpol yang akan diangkat menjadi Jaksa Agung harus lebih dulu berhenti dari kepengurusan parpol sekurang-kurangnya 5 tahun.
Putusan MK: Anggota Parpol Harus Mundur Minimal 5 Tahun Sebelum Jadi Jaksa Agung
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan melarang pengurus partai politik (parpol) menjabat Jaksa Agung.
Putusan ini tetuang dalam nomor 6/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang Kejaksaan yang digugat seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar.
MK menyatakan, pengurus parpol yang akan diangkat menjadi Jaksa Agung harus lebih dulu berhenti dari kepengurusan parpol sekurang-kurangnya 5 tahun.
Putusan ini dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang pengucapan putusan terhadap pengujian Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 (UU Kejaksaan) di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (29/2).
"Menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait dengan ketentuan norma Pasal 20 UU Kejaksaan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah dalil yang dapat dibenarkan. Namun, sepanjang berkenaan dengan batas waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun untuk seorang calon Jaksa Agung telah keluar dari keanggotaan partai politik, baik mengundurkan diri maupun diberhentikan, Mahkamah tidak dapat memenuhi karena telah ternyata terdapat perbedaan tugas, fungsi, dan kewenangan antara pengurus partai politik dan anggota partai politik yang dapat menunjukkan derajat keterikatan hubungan dengan partainya," kata Saldi Isra dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo.
Saldi Isra menyebut seorang pengurus partai politik lebih memiliki keterikatan yang kuat terhadap partainya. Sehingga, jika Jaksa Agung yang terikat dengan parpol potensi memiliki konflik kepentingan.
"Karena berdasarkan penalaran yang wajar, pengurus partai politik tersebut potensial memiliki konflik kepentingan ketika diangkat menjadi Jaksa Agung tanpa dibatasi oleh waktu yang cukup untuk terputus dari afiliasi dengan partai politik yang dinaunginya," ucap Saldi Isra.
Sementara, terhadap putusan ini, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyatakan alasan berbeda. Dalam pertimbangannya, Arsul menyatakan, berkaitan dengan isu konstitusionalitas calon Jaksa Agung dari parpol belum teridentifikasi apakah ketentuan itu hanya berlaku bagi pengurus parpol atau termasuk juga anggota parpol yang dibatasi menjadi Jaksa Agung.
Oleh karena itu, ketiadaan pemaknaan pembatasan tersebut masih membuka ruang bagi Mahkamah untuk membatasi larangan yang menjadi Jaksa Agung hanya berasal dari pengurus parpol.
Selain itu, menurut Arsul, Mahkamah Konstitusi perlu menegaskan pihak yang masuk dalam kategori pengurus parpol harus telah berhenti lebih dahulu sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat, atau ditunjuk menjadi Jaksa Agung oleh Presiden.
"Hal ini penting untuk diuraikan secara spesifik guna menghindari multitafsir yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, ketika terdapat anggota parpol yang tidak lagi terlibat secara aktif dalam urusan kepartaian ditunjuk oleh Presiden untuk menduduki jabatan sebagai Jaksa Agung. Dengan demikian, penting bagi Mahkamah untuk menguraikan kategori pengurus parpol yang dimaksudkan tersebut," pungkasnya.