Wasekjen PPP Ingin Kritik RUU KUHP Berdasar Data

Merdeka.com - Wakil Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi merasa masyarakat tidak mendapat informasi utuh mengenai UU KPK. Hal ini menyebabkan ada salah tafsir sehingga terjadi pro dan kontra.
"Karena memang setelah kita menjelaskan kepada publik poin-poin revisi UU KPK seperti apa, banyak yang mulai paham. Sementara teman-teman itu lebih banyak mendapatkan informasi dari media sosial sehingga mereka tidak mendapatkan informasi utuh," ungkapnya di Gedung Nusantara IV MPR RI, Minggu (29/9).
Baidowi menyebut salah satu contoh salah tafsir adalah mengenai kedudukan KPK di cabang kekuasaan eksekutif. Ia meluruskan bahwa KPK berada di cabang eksekutif, tapi kerjanya tetap independen.
"Contoh, mendudukan KPK sebagai cabang kekuasaan eksekutif. Itu seolah-olah KPK di bawah Presiden, bukan. Cabang kekuasaan eksekutif itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, ada putusan MK menyebutkan bahwa KPK itu adalah cabang kekuasaan eksekutif karena dia punya kewenangan eksekutorial. Namun demikian dalam bekerjanya, KPK itu independen, bukan atas perintah Presiden," katanya.
"Sebelumnya kan disampaikan dimeme itu di media sosial disebutkan bahwa KPK bekerja di bawah Presiden, ketika ini menyebutkan rumpun kekuasaan eksekutif, KPK bekerja atas perintah Presiden, kan bukan begitu caranya," lanjutnya.
Baidowi menyebutkan salah tafsir masyarakat tidak hanya terjadi pada UU KPK, tapi juga pada RUU KUHP. Beberapa contoh yang ia sebut adalah aturan keluar malam bagi wanita, hewan ternak ke lahan tetangga, dan kekerasan dalam rumah tangga.
"Seperti KUHP gitu kan, wanita malam-malam pulang sendirian terus ditangkap, kan bukan begitu maknanya. Yang ditangkap itu adalah gelandangan, gelandangan kan sudah ada di putusan MK ditertibkan. Sama seperti hewan ternak ke lahan tetangga seolah-olah hal yang baru, padahal di KUHP lama itu ada pasal 548 sama pasal 549. Dicek lagi, itu ada di KUHP. Hewan ternak itu enggak boleh melanggar, merusak tanaman orang lain. Sekarang seolah-olah itu baru ada," ucapnya.
"Sama halnya dengan kekerasan terhadap istri. Seolah-olah norma baru, padahal UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tahun 2004 itu sudah ternormakan, 2004-2019 ke mana saja kok baru sekarang seolah-olah jadi pahlawan, DPR nya gila gitu loh. Sekarang 2019, berapa tahun? 15 Tahun," tambahnya.
Ia menyatakan sikap kritis memang diperlukan, tapi harus berdasar data yang ada."Kritis boleh, tapi kan kita kan perlu dikritisi. Tetapi kan berbasis dengan data tidak berdasar katanya katanya, kan repot," tandasnya.
Reporter Magang: Ahdania Kirana
Jangan Lewatkan:
Ikuti Polling Bagaimana Pendapat Anda soal RUU KUHP? Klik di Sini!
(mdk/did)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya