Pasar AI Capai Triliunan Dolar, tapi Manfaatnya Tak Merata
Sayangnya, manfaatnya belum merata, malah justru berisiko memperdalam ketimpangan global.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Badan Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) memperingatkan bahwa meski pasar kecerdasan buatan (AI) global diproyeksikan mencapai USD 4,8 triliun atau Rp 76 Ribu Triliun pada 2033.
Sayangnya, manfaatnya belum merata, malah justru berisiko memperdalam ketimpangan global. Angka tersebut setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman, menandakan potensi ekonomi AI yang sangat besar.
Mengutip CNBC, Selasa (8/4), dalam laporan terbaru yang dirilis pekan lalu, UNCTAD menyebut bahwa 40% pengeluaran riset dan pengembangan AI global dikuasai oleh hanya 100 perusahaan besar, sebagian besar berbasis di Amerika Serikat dan Tiongkok.
Ketimpangan ini semakin diperparah dengan tidak dilibatkannya 118 negara, mayoritas dari kawasan Global South, dalam diskusi global mengenai tata kelola AI.
Laporan tersebut juga menyoroti potensi dampak terhadap lapangan kerja. Diperkirakan 40% pekerjaan di seluruh dunia berisiko tergantikan oleh otomatisasi berbasis AI, dengan dampak lebih besar di negara-negara maju.
Bahkan, hingga 60% jenis pekerjaan di negara maju disebut bisa terdampak langsung. Sekitar setengahnya memang bisa didukung AI untuk peningkatan efisiensi, namun sisanya sangat mungkin hilang tergantikan sistem otomatis.
Dominasi segelintir negara dan perusahaan dalam penguasaan teknologi AI dinilai dapat menghapus keunggulan kompetitif tenaga kerja murah di negara berkembang. Jika tidak dikelola secara adil dan inklusif, perkembangan AI justru berpotensi memperlebar jurang antara negara maju dan berkembang.
Meski banyak berisi peringatan, UNCTAD juga menegaskan bahwa AI memiliki potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja baru, membuka peluang ekonomi, dan meningkatkan produktivitas, asalkan negara berkembang aktif berinvestasi dalam pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan tenaga kerja (upskilling).
Lembaga ini mendorong agar negara-negara berkembang terlibat dalam penyusunan kebijakan global mengenai AI dan tidak sekadar menjadi pengguna teknologi.
UNCTAD merekomendasikan pembentukan mekanisme transparansi publik dalam penggunaan AI, pengembangan infrastruktur bersama, mendorong adopsi sistem AI berbasis open-source, serta inisiatif global untuk berbagi pengetahuan dan sumber daya.
Tujuannya adalah menciptakan sistem AI yang tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi dapat menjadi katalis kemajuan bagi semua.
UNCTAD menutup laporannya dengan peringatan bahwa AI bisa menjadi jalan menuju kemakmuran bersama, tapi hanya jika dunia bergerak aktif membentuk arah perkembangannya secara inklusif dan adil.