Sambil Makan Cireng, Bule Belanda Dengar Cerita soal Meletusnya Gunung Galunggung sampai Melongo 'Gimana Bisa Hidup'
Salah seorang warga asing berdarah Belanda secara sengaja menghabiskan waktu ke kawasan ekowisata Gunung Galunggung.
Salah seorang warga asing berdarah Belanda secara sengaja menghabiskan waktu ke kawasan ekowisata Gunung Galunggung. Di sana, dia menemui beberapa anak hingga para penjual makanan.
Salah satunya yakni sosok penjual cireng yang ternyata memiliki pengalaman menarik. Dia pernah hampir menjadi korban dari letusan Gunung Galunggung yang berlokasi di Jawa Barat itu.
Mendengar cerita hingga pengakuan sang penjual, 'bule' tersebut mendadak tertegun. Dia bahkan mengaku penasaran mendengar cerita bertahan hidupnya sang penjual hingga warga lainnya saat itu. Seperti apa momennya? Simak ulasan selengkapnya berikut ini, dilansir dari kanal YouTube Bule belanda Official, Jumat (2712).
Bule Temui Penjual Cireng
Momen tersebut seperti yang tampak dari unggahan sang 'bule' dalam kanal YouTube pribadinya beberapa waktu lalu. Melalui video berdurasi kurang dari 20 menit itu, si 'bule' berbagi momen saat dirinya tengah menyusuri area wisata Gunung Galunggung di Tasikmalaya.
Secara tak sengaja, dia bertemu Ade, penjual cireng yang berlokasi di sekitar kawasan wisata. Tak berselang lama setelah bertemu, si 'bule' bertanya soal bencana erupsi Gunung Galunggung tahun 1982 silam.
Terungkap, Ade pun sempat merasakan momen menegangkan sesaat setelah Gunung Galunggung erupsi. Mendengar hal demikian, si 'bule' langsung merasa antusias.
"Waktu gempa dan meletus 1982 Anda ada di sini?" tanyanya.
"Ya, ada. Saya ke Tasikmalaya mengungsi," ungkap Ade.
"Waktu itu, saya belum ada di sini. Gimana itu? tanyanya kembali.
"Saya mengungsi ramai-ramai. Sudah meletus jam 6 pagi, orang-orang takut dan rumah kosong. Di daerah Singaparna, ada yang kasih tempat untuk mengungsi sekitar setengah tahun," cerita Ade.
Tertegun Dengar Cerita Penjual Cireng
Ade pun turut mengungkap jika dia dan rekannya saat itu benar-benar tak bisa bergerak hingga sekadar menyambung hidup dari berjualan.
"Tidak bisa (bekerja), takut meletus. Ini gunungnya gundul karena panas. Dari jarak 7 km, orang tidak bisa ke sini," terang Ade.
"Usaha apapun juga enggak bisa?" tanya si 'bule'.
"Enggak bisa," jawabnya.
Menyaksikan Ade bercerita sembari menyantap cireng khas Jawa Barat, si 'bule' kemudian tampak tertegun. Terlebih ketika Ade kala itu mengungkap cerita masa lalunya saat dia mencoba bertahan hidup di area pengungsian selama enam bulan.
"Jadi bagaimana bisa hidup?" tanya si 'bule'.
"Kan ada dari pemerintah dikasih makanan, pakaian. Ada dijamin, hampir sekabupaten lah. Yang paling parah sekitar satu kecamatan. Sesudah itu, karena sudah hampir setahun mengungsi terus saya memberanikan diri ke sini. Bisa lah akhirnya ditanami," ungkap Ade.
Letusan Gunung jadi Berkah
Meski sempat membuat Ade dan para warga sekitar Gunung Galunggung merasa tertekan, namun bencana tersebut turut mendatangkan keuntungan tersendiri pada akhirnya.
Ade pun mengungkap jika banyak keberkahan hidup usai meletusnya Gunung Galunggung seperti tanah yang subur hingga atensi masyarakat di tanah air untuk berwisata.
"Ada debu tapi tetap, buat tanaman bagus. Singkong dulu ada yang sampai 1 kg satu biji dulu. Jadi ada berkahnya gunung meletus. Ada juga wisata setelah itu, jadi bagus. Ada kawahnya dan jalannya," kata Ade.
Kini, Gunung Galunggung pun menjadi lahan basah bagi Ade dan warga sekitar untuk mencari penghidupan.
Gunung Galunggung Sebelum jadi Wisata Populer
Gunung Galunggung sendiri merupakan salah satu gunung berapi di tanah air yang cukup aktif. Terletak di Tasikmalaya, Jawa Barat, kini gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 2 ribu meter di atas permukaan laut itu menjadi wisata populer untuk pendakian.
Sebelum akhirnya menjadi destinasi wisata, Gunung Galunggung tercatat pernah menelan banyak korban jiwa dan kerusakan lingkungan pada tahun 1822.
Setidaknya, letuan Gunung Galunggung kala itu telah menewaskan lebih dari 4 ribu orang hingga meleburkan 114 desa.
Pada tahun 1918 pun, letusan kembali terjadi pada awal Juli yang didahului gempa bumi. Letusan 6 Juli menghasilkan abu setebal 2-5 mm yang terbatas pada kawah dan lereng selatan.
Letusan terakhir tercatat pada tahun 1982 hingga 1983. Setidaknya 18 orang tewas karena sebab yang tak langsung dari erupsi Gunung Galunggung.