Curhat PLN soal sulitnya membangun infrastruktur listrik di desa

Merdeka.com - Pemerintah Jokowi-JK telah mencabut subsidi listrik golongan 900 VA yang tidak tepat sasaran. Selama ini, subsidi listrik dinikmati orang kaya, sebagian besar dari 44 juta pemakai listrik subsidi itu memiliki pendapatan di atas rata-rata. Mereka menikmati tarif listrik 30 persen lebih rendah dari harga keekonomian.
Pemerintah kemudian mengubah pola pemberian subsidi listrik, tak lagi melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) tapi langsung ke masyarakat miskin.
Direktur Perencanaan Korporat Perusahaan Listrik Negara (PLN), Nike Widyawati mengatakan, dana hasil pencabutan subsidi di awal tahun 2017 ini digunakan untuk melistriki desa-desa di Papua dan Maluku. Program melistriki desa tercatat telah menghabiskan anggaran sebesar Rp 300 miliar. Sementara itu, untuk tahun 2017 ini PLN membutuhkan anggaran sebesar Rp 1,8 triliun.
"Anggarannya dari mana? Ada program untuk subsidi tepat sasaran yang hebohnya ada kenaikan listrik. Bukan ya, itu subsidi tepat sasaran itu subsidinya dicabut, itulah dananya yang kita gunakan untuk ini (program melistriki desa)," kata Niken, di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Senin (15/5).
Menurut Niken, kebijakan pencabutan subsidi listrik tidak tepat sasaran dilakukan untuk menciptakan keadilan. Artinya, warga mampu yang tinggal di perkotaan harus rela membayar listrik dengan tarif normal (tanpa subsidi) agar warga-warga di pedalaman yang belum terjangkau oleh listrik bisa segera menikmati program melistriki desa.
"Listrik berkeadilan, yang tadinya dinikmati yang mempunyai penghasilan yang lebih yang cukup, digunakan untuk saudara-saudara kita yang masih gelap di Papua dan Maluku," ujar Niken.
Niken mengungkapkan, saat ini rumah-rumah serta tempat ibadah di beberapa desa sudah mulai terang benderang pada malam hari. Salah satu dampak positifnya, penerangan tersebut membuat masalah sosial yang kerap terjadi menjadi berkurang.
Namun demikian, mengalirkan listrik ke Papua dan Maluku tidaklah mudah. Banyak kendala yang harus dihadapi oleh para petugas dari mulai pendistribusian logistik hingga pemasangan tiang listrik. Tantangan terbesar dalam melistriki desa adalah keterbatasan akurasi data, kondisi geografis medan dan keterbatasan sarana transportasi.
"Untuk di Papua, yang banyak kita bangun adalah transmisi karena jarak antara satu populasi itu jauh sekali," ungkap Niken.
Niken mengatakan, tak jarang dalam satu tempat hanya ada lima rumah bahkan ada yang hanya terdapat satu rumah saja. Untuk tempat tersebut, PLN hanya membangun tower listrik, sedangkan untuk yang satu rumah PLN menyediakan pembangkit listrik tenaga matahari yang berkekuatan enam jam.
Sedangkan di Maluku, daerahnya merupakan kepulauan sehingga sulit membangun dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Penyaluran listrik di Maluku diperkirakan akan menelan biaya sebesar Rp 721 miliar.
"Gak ada pelabuhan, tiang-tiang (tiang listrik) diangkut oleh orang di air dan didirikan (dibangun) pakai tali," terang Niken.
Sementara itu, untuk tenaga kerja, PLN memanfaatkan warga setempat. Penyerapan tenaga kerja mencapai angka 12.000 orang selama pembangunan dan 3.600 orang untuk tenaga pengoperasian. "Gunakan tenaga kerja setempat sehingga ini (program melistriki desa) juga menciptakan lapangan kerja," pungkas Niken.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya