DPR pelototi status opini tidak wajar laporan keuangan SKK Migas

Merdeka.com - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Dalam rapat kali ini, DPR menyoroti hasil pemeriksaan laporan keuangan yang mendapat opini tidak wajar dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Mulyadi mengakui bahwa pihaknya mendapat kecaman dari komisi lain akibat opini tidak wajar terhadap laporan keuangan SKK Migas. Komisi lain di DPR mempertanyakan kinerja komisi VII dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap SKK Migas.
Kecaman-kecaman tersebut membuat komisi VII dianggap lalai dalam mengawasi mitra kerjanya. Hal ini pun membuat komisi VII meminta penjelasan kepada SKK migas atas status opini tidak wajar yang mereka peroleh.
"Jadi kami minta penjelasan atas status tersebut kepada SKK Migas," ujarnya di Gedung Nusantara I DPR, Jakarta, Senin (5/12).
Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi menjelaskan jika status opini tidak wajar diperoleh karena adanya perbedaan terhadap standar perhitungan akuntansi yang dilakukan oleh BPK. Dalam kesepakatan yang dilakukan dengan BPK, kata Amien, SKK Migas akan menyiapkan laporan keuangan dengan menggunakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
Dalam perjalannya, kedua laporan keuangan tersebut hanya dipilih satu. Auditor BPK memutuskan untuk memilih SAK untuk menjadi rujukan pemeriksaan. Sayangnya, BPK melakukan blunder karena tidak mengeluarkan opini untuk laporan keuangan dengan menggunakan metode SAK. Mereka malah mengeluarkan opini menggunakan prinsip akuntansi yang berlaku umum (PABU).
"Seharusnya yang berlaku di Indonesia itu hanya SAP dan SAK," kata dia.
Lanjutnya, BPK juga menyoroti beberapa hal yang menyebabkan pemberian opini tidak wajar. Pertama, dalam metode SAK, kewajiban SKK Migas terhadap pesangon pegawai harus dimasukkan dalam neraca dan dicantumkan laporan keuangan.
"Namun, menurut BPK, hal tersebut tidak perlu dimasukan. Tetapi, karena SKK Migas menggunakan SAK, maka, hal tersebut tetap dimasukan. Hal ini lah yang menjadi perbedaan dalam melakukan perhitungan," tuturnya.
Penyebab kedua adalah perihal dana pemulihan tambang pasca eksplorasi migas (abandonment and site restoration/ASR). Dalam laporan tersebut, SKK Migas dianggap tidak sesuai dengan PSAK 09 atau standar akuntansi.
Hasil laporan tersebut bersinggungan dengan hasil diskusi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) jika standar tersebut sudah tak lagi digunakan sejak tahun 1999. "Kalau saya mau mendebat juga, nanti takut mencoreng teman-teman di BPK," pungkasnya.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya