ICW temukan kerugian negara di sektor energi hingga Rp 133,6 T

Merdeka.com - Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesian Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan bahwa penerimaan negara masih menjadi persoalan utama pemerintah Indonesia saat ini. Sebab, penerimaan negara, baik dari penerimaan bukan pajak (PNBP) maupun penerimaan dari pajak masih belum optimal.
"Paska dilaksanakannya Tax Amnesty akhir tahun 2016, pemerintah masih belum menemukan titik terang dalam realisasi penerimaan pajak tahun 2017. Di sisi lain kebutuhan dana untuk pembangunan semakin besar dan nampaknya masih akan sangat tergantung dari pinjaman dan utang luar negeri," kata Firdaus di kantornya, Jumat (10/11).
Menurutnya, kejanggalan terlihat dari penerimaan pajak dari sektor batu bara. Indonesia sebagai produsen batu bara terbesar namun penerimaan pajak dari sektor tersebut tidak banyak.
"Berdasarkan hasil penelusuran ICW selama periode 2006-2016 ditemukan indikasi unreporting transaksi batu bara (ekspor) sebesar USD 27,062 Miliar atau setara Rp 365,3 triliun. Hal ini berdampak indikasi kerugian negara baik dari kewajiban perusahaan batu bara untuk pajak penghasilan maupun royalti sebesar Rp 133,6 triliun," ujarnya.
Dia menilai, dalam hal ini ada ketidakmampuan pemerintah dalam menerapkan pengampunan pajak. Terlihat dari data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mencatat dari 7.115 wajib pajak (WP) Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba) serta minyak dan gas (Migas), hanya 1.035 WP yang ikut program Tax Amnesty.
Dari 6.001 WP orang pribadi dan badan di sektor pertambangan minerba, sebanyak 967 WP ikut Tax Amnesty dengan total nilai uang tebusan Rp 221,71 miliar. Sedangkan rata-rata tebusan Rp 229,27 juta.
Sementara dari 1.114 WP pertambangan migas, hanya 68 WP yang ikut Tax Amnesty dengan nilai total tebusan dari mereka Rp 40,60 miliar, dengan rata-rata tebusan Rp 527,29 juta.
"Kalau kita tahu masalah perpajakan di sektor tambang dan mineral misalnya tentu banyak persoalannya dan indikasi-indikasi ketidaktaatan dan ketidakpatuhan itu menjadi besar," ujarnya.
Sayangnya, dari total uang tebusan tidak terlihat adanya penambahan yang signifikan. Padahal, kontribusi pajak dari sektor tersebut mengalami penurunan terus menerus dari tahun 2012 hingga tahun 2016.
Data menunjukkan, indikasi kerugian negara dari penyimpangan ekspor batu bara pada tahun 2012 adalah Rp 7,9 triliun dan pada tahun 2016 adalah sebesar Rp 13,9 triliun. "Secara keseluruhan, nilai indikasi kerugian negara mencapai Rp 133,6 triliun dari kewajiban pajak sebesar Rp 95,2 triliun dan royalti sebesar Rp 38,5 triliun," jelas Firdaus.
Untuk itu, ICW dan koalisi masyarakat sipil akan melaporkan hasil kajian ini kepada instansi dan aparat yang terkait. "Terkait besarnya indikasi kerugian negara, maka sudah seharusnya pemerintah menaruh perhatian serius dan membenahi segera celah dan indikasi kerugian negara dari batu bara dan pengelolaan sumber daya alam dan energi," pungkasnya.
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya