Masalah relaksasi ekspor sampai Freeport jadi PR berat Menteri Jonan

Merdeka.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Wakil Menteri Arcandra Tahar memiliki segudang tugas berat ke depan. Keduanya dihadapkan terhadap permasalahan salah satunya aturan relaksasi ekspor konsentrat.
Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman, mengungkapkan Menteri Jonan harus bisa mengambil jalan tengah terkait wacana relaksasi ekspor beberapa biji mineral, seperti tembaga. Jika tidak, banyak perusahaan merasa kecewa, karena sudah membangun smelter di Indonesia.
"Jonan-Arcandra harus membuat perimbangan yang tepat antara kepentingan kemandirian pertambangan dan penerimaan negara dalam jangka pendek," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (16/10).
Dalam jangka pendek misalnya, jika keran ekspor benar ditutup, penerimaan negara dari perusahaan-perusahaan tambang, seperti PT Freeport Indonesia akan menurun. Pada akhir 2015, kontribusi Freeport sebesar USD 109 juta untuk kewajiban ekspor dan USD 114 juta untuk royalti.
"Jadi jika keran ekspor tembaga ditutup, tugas pemerintah adalah bagaimana mencari solusi jangka pendek atas persoalan itu," tuturnya.
Tugas berat yang lebih penting lagi adalah menyelesaikan renegosiasi kontrak dengan perusahaan-perusahaan tambang seperti Kontrak Karya (Freeport Indonesia, Newmont, Vale Indonesia) dan PKP2B, seperti PT Bumi Resources Tbk dan PT Adaro Indonesia Tbk. Renegosiasi kontrak sudah berlangsung sejak 2012, hanya saja sampai sekarang belum menemukan titik temu, karena perusahaan-perusahaan besar masih ngotot dengan kontrak-kontrak lama.
Kepentingan ekonomi politik dan bisnis orang kuat di balik renegosiasi kontrak, lanjutnya, juga penting untuk dilawan Menteri Jonan. "Intinya, negara harus berdaulat dan tugas menteri ESDM adalah mengembalikan daulat tambang ke pangkuan konstitusi UUD’45," tegasnya.
Menteri Jonan juga harus memutuskan proyek-proyek milik perusahaan Amerika Serikat, seperti Indonesia Deepwater (dioperatori Chevron Pacific Indonesia), pembangunan East Natuna (Exxon Mobil) dan perpanjangan kontrak dan investasi underground perusahaan tembaga dan emas yang menambang di Grasberg-Papua, PT Freeport Indonesia.
Total nilai proyek tiga perusahaan itu memang sangatlah fantastis, bisa mencapai USD 50 miliar. Freeport Indonesia, misalnya akan menginvestasikan dana senilai USD 2,5 miliar untuk pembangunan smelter di Gresik, belum termasuk investasi pembangunan tambang underground.
"Percepatan proyek-proyek besar ini tentu akan berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
Di sektor minyak dan gas pemerintah dihadapkan pada defisit. Defisit bisa dicegah jika proyek-proyek gas berskala besar beroperasi secara komersial sesuai jadwal.
Beberapa proyek lain yang masing pending dan menanti kerja cepat menteri ESDM baru, seperti percepatan investasi di blok Masela, blok Mahakam, blok Cepu (konsorsium Pertamina-Exxon). Perlambatan proyek-proyek akan berpengaruh pada defisit minyak dan gas.
"Tahun 2014 misalnya, nilai impor gas alam di atas USD 3 miliar. Ini tentu jangan dianggap sepele, karena tren peningkat impor gas kita cukup mencemaskan," ucapnya.
Ferdy menjabarkan, pada 2003, impor gas hanya USD 21,5 juta, tetapi di 2010 membengkak menjadi USD 863 juta, meningkat USD 1,4 miliar (2011), USD 3,08 miliar (2012) dan naik lagi akhir 2013, menjadi USD 3,21 miliar.
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya