Pemerintah Nilai RI Jauh dari Potensi Resesi, Inilah Alasannya
Merdeka.com - Ekonomi global saat ini tengah mengalami tren perlambatan. Beberapa negara bahkan sudah mengalami resesi seperti Argentina, Turki bahkan Singapura. Resesi adalah suatu kondisi di mana terjadi pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengungkapkan meski ekonomi global mengalami perlambatan namun pemerintah optimistis Indonesia tidak akan mengalami resesi.
Dia menjelaskan hal itu tercermin dari struktur neraca perdagangan yang pada Oktober mengalami surplus, meski tipis. Namun, jika dilihat secara keseluruhan komposisi ekspor dan impor masih berimbang.
-
Bagaimana pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II-2023? “Bila dibandingkan dengan triwulan II-2022 atau secara year on year tumbuh sebesar 5,17 persen,“ kata Deputi Bidang Neraca dan Analis Statistik BPS Moh Edy Mahmud saat Konferensi Pers di Jakarta, Senin.
-
Apa pertumbuhan ekonomi RI di Kuartal II-2023? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,17 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2023.
-
Mengapa banyak perusahaan global terancam bangkrut? Banyak tanda menunjukkan ancaman kebangkrutan bagi perusahaan-perusahaan global, terutama karena krisis utang dan kenaikan biaya pinjaman yang menjadi isyarat 'kiamat' baru bagi korporasi di seluruh dunia.
-
Kapan deflasi di Indonesia terjadi? Badan Pusat Statistik (BPS) menginformasikan bahwa Indonesia mengalami deflasi lagi pada bulan September 2024.
-
Kapan pertumbuhan ekonomi RI di atas 5 persen? “Bahkan hal ini sudah berlangsung selama 7 kuartal atau hampir 2 tahun berturut-turut.
-
Dimana negara berkembang di benua Asia? Negara Berkembang di Benua Asia Bhutan, Kazakstan, Mongolia, Armenia, Afghanistan, Bangladesh, Brunei, Kamboja, China, India, Korea Utara, Indonesia, Myanmar, Nepal, Papua Nugini, Palestina.
"Kalau dilihat komposisi ekspor impor masih berimbang dan konsumsi rumah tangga masih bisa dipertahankan," kata dia, dalam sebuah acara diskusi bertajuk "Bagaimana Politik Anggaran Menjawab Ancaman Resesi Global", di Kemenkominfo, Jakarta, Jumat (15/11).
Di tengah kondisi global seperti saat ini, kata dia, meningkatkan ekspor menjadi salah satu keharusan jika ingin selamat dari jerat resesi. Namun, hal itu sangat sulit dilakukan mengingat hampir semua negara tengah mengalami kesulitan. Akan tetapi, Indonesia terbukti berhasil mengatasi hal itu.
Iskandar menjelaskan pelemahan kinerja ekspor masih tertolong oleh impor yang penurunannya lebih tajam. Selain itu, kinerja ekspor akan dibantu oleh konsumsi rumah tangga yang sampai saat ini berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Tercatat, kontribusinya sekitar 54 persen.
"Kita bisa mengantisipasi pelemahan ekonomi global dan menambah pertumbuhan ekonomi ketika perekonomian global menurun sulit ekspor, makanya kita berdayakan domestik kita. Barang yang mengalami pelemahan ekspor kita jual ke dalam," ujarnya.
Salah satu contohnya adalah percepatan program B30 di mana nantinya akan menggunakan CPO dalam negeri sebagai campuran untuk bio diesel. "Itu kan meningkatkan penghasilan petani. Petani sawit tadi harganya menjadi lebih tinggi berarti daya beli petani menjadi lebih tinggi. Ketika daya beli menjadi tinggi, konsumsi barang-barang yang dihasilkan industri dalam negeri jadi naik," ujarnya.
"Makanya saya cerita tadi kita tidak akan jatuh (resesi) seperti negara lain," dia menambahkan.
Selanjutnya, upaya yang dilakukan pemerintah juga dengan menurunkan suku bunga KUR (kredit usaha rakyat) yang berdampak langsung pada masyarakat. Pemerintah memutuskan untuk menurunkan bunga KUR menjadi 6 persen dari sebelumnya 7 persen dengan harapan dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
"Faktor kunci kita cepat preemtive policy (pencegahan) mengantisipasi perubahan global, setidaknya BI sudah menurunkan bunga, ini responsif ketika tahu gejala global lemah BI menurunkan, termasuk Pemerintah menurunkan suku bunga KUR jadi 6 persen," tutupnya.
2 Faktor Pemicu Resesi Ekonomi
Indonesia diminta untuk melakukan antisipasi terhadap ancaman resesi ekonomi. Apalagi, kondisi politik dalam negeri dinilai belum stabil.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, mengatakan langkah preventif yang dilakukan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi perekonomian nasional dari gejolak ekonomi global.
"Kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih tergolong cukup realistis dengan target pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3 persen di tengah kondisi riil saat ini yang masih bertengger pada level 5,08 persen. Walaupun demikian, pemerintah tetap perlu terus mewaspadai ancaman resesi global yang mungkin terjadi pada tahun depan," katanya seperti dikutip dari Antara di Jakarta, Kamis (3/10).
Pingkan mengungkapkan setidaknya ada dua faktor utama yang perlu diantisipasi oleh pemerintah dalam menyikapi gejolak ekonomi global yang berada di ambang resesi ini.
Pertama adalah faktor internal yang mencakup stabilitas kondisi sosial-politik yang berdampak pada pertumbuhan investasi. Hal itu dilihat dari dinamika sosial-politik dalam negeri dalam beberapa minggu belakangan ini yang ditandai dengan masih adanya gelombang demonstrasi menuntut parlemen meninjau kembali beberapa RUU yang dinilai mengandung pasal-pasal kontroversial dan merugikan masyarakat.
Masyarakat dari berbagai lapisan turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka. Sayangnya, beberapa di antara demonstrasi tersebut berujung ricuh dan mendorong sentimen negatif dalam pasar sehingga membuat investor mengambil langkah wait and see.
"Faktor berikutnya adalah faktor eksternal yang mencakup kondisi perekonomian dari negara-negara mitra dagang maupun para penanam modal asing. Hal ini tentu mengancam iklim investasi di Indonesia. Pemerintah harus waspada karena resesi ekonomi dapat menyebar dengan cepat," tambah Pingkan.
Dia menuturkan memasuki kuartal terakhir 2019, perekonomian global masih kian melesu. Lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) hingga Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pun kerap mengoreksi pertumbuhan ekonomi global sejak dua kuartal belakangan.
Seiringan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut, Pingkan menyebut kemungkinan akan adanya resesi global dalam waktu dekat kembali menjadi sorotan.
Setidaknya tiga negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman, menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan resesi dalam waktu dekat. Pasalnya, perang dagang antara Amerika Serikat dengan China yang sudah bergulir lebih dari satu tahun lamanya belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir.
Di sisi yang lain, perekonomian di benua biru juga tidak jauh dari kemungkinan resesi yang menghantui akibat dari adanya tensi geopolitik antara Inggris dengan Uni Eropa menjelang keputusan final Brexit yang akan ditetapkan pada 31 Oktober mendatang.
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Situasi global yang tidak berjalan baik saat ini sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang semakin merosot.
Baca SelengkapnyaEkonomi Amerika Serikat (AS) diperkirakan mulai melambat di semester II-2024 seiring dengan penurunan permintaan domestik.
Baca SelengkapnyaAngka pengangguran yang melonjak tak terduga di Amerika Serikat (AS).
Baca SelengkapnyaPadahal, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia lebih baik dari proyeksi semula.
Baca SelengkapnyaEkonomi dunia diperkirakan melambat akibat konflik global saat ini.
Baca SelengkapnyaKekacauan dunia terjadi dipicu oleh potensi resesi Amerika Serikat hingga perang yang terjadi di Eropa dan Timur Tengah
Baca SelengkapnyaPerekonomian di China yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, masih menunjukkan kinerja yang lemah
Baca SelengkapnyaBank Dunia memprediksi ekonomi global dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan.
Baca SelengkapnyaPasar telah mengalami minggu yang kacau, sebagian besar dipicu oleh angka penggajian Amerika.
Baca SelengkapnyaDi lain pihak, pemerintah negara barat dan industri menghadapi stimulus fiskal yang sangat terbatas.
Baca SelengkapnyaSituasi ini memberikan tekanan pada pasar keuangan dunia.
Baca SelengkapnyaMenteri Keuangan Sri Mulyani menilai menuju target tersebut bukan perkara gampang.
Baca Selengkapnya