Pengamat: Pemerintah sadar keberadaan taksi online harus diatur

Merdeka.com - Konflik antara transportasi berbasis aplikasi atau online dengan konvensional muncul di beberapa daerah Tanah Air. Kehadiran transportasi online dianggap telah menggilas keberadaan konvensional.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Haryadi Mahardika menilai keberadaan transportasi online merupakan sebuah inovasi. Namun, keberadaannya di setiap daerah harus segera diatur, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
"Pemerintah mulai sadar jika aplikasi (transportasi online) ini harus diatur. Dan saya pribadi setuju, memang harus diatur," kata Haryadi, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (25/3).
Namun, Haryadi mengingatkan aturan ini jangan sampai mematikan inovasi yang sudah ada, terutama di bidang transportasi. Pengaturan tersebut terkait penentuan tarif atas dan tarif bawah.
"Harus diatur, jangan terlalu ketat dan mematikan inovasi. Karena aturan terlalu ketat pasti tidak ada lagi inovasi," ujar Haryadi.
Haryadi mengungkapkan, saat ini pemerintah dinilai lemah ketika berhadapan dengan pemilik aplikasi transportasi online. Alhasil, pemilik aplikasi bebas beroperasi di Indonesia dengan tidak mengindahkan aturan perundang-undangan yang ada.
Pemilik aplikasi transportasi online bebas menentukan tarif sendiri, rekrutmen massal tanpa batas dan mengabaikan keselamatan dan keamanan penumpang. "Pemerintah tidak punya senjata untuk membawa pemilik aplikasi ke meja perundingan. Ini lah seni bernegosiasi," ungkap Haryadi.
Haryadi menyarankan pemerintah bisa memblokir pemilik aplikasi apabila tak patuhi aturan dan menolak untuk bernegosiasi. Sebab, pemerintah sebagai pemilik jaringan internet.
"Kalau perlu bisa diblok atau dimatikan sehingga tidak bisa diakses oleh pengguna. Kita membawa mereka untuk bernegosiasi. Selama ini hal itu tidak dilakukan oleh pemerintah," terang dia.
Perundingan pemerintah dengan pemilik aplikasi, lanjutnya, mendesak untuk dilakukan. Jika tidak dilakukan, pengemudi dan konsumen akan menjadi korban akibat tidak dipatuhinya peraturan.
"Kalau tidak begitu yang menjadi korban driver karena menjadi representatif aplikasi padahal bukan. Mereka kan kontrak atau mitra bukan pegawai," tandas Haryadi.
(mdk/sau)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya