Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Pengusaha sebut aturan ekspor Menteri Jonan turunkan harga nikel

Pengusaha sebut aturan ekspor Menteri Jonan turunkan harga nikel Menteri ESDM Ignasius Jonan di PLN Gandul. ©2017 merdeka.com/Yayu Agustini Rahayu

Merdeka.com - Direktur Keuangan PT Vale Indonesia Tbk, Febrianty Eddy mengatakan aturan pemerintah yang memperbolehkan ekspor bijih mentah sejak awal 2017 berdampak pada penurunan harga nikel. Seperti diketahui, Kementerian ESDM menerbitkan aturan Nomor 6 Tahun 2017 yang mengatur tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan dan pemurnian.

"Kondisi harga nikel yang rendah saat ini tidak terlepas dari dampak diterbitkannya peraturan Pemerintah yang memperbolehkan ekspor bijih mentah sejak awaI 2017 ini," ujar Febrianty di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (7/8).

Sebelum aturan tersebut dikeluarkan, katanya, para analis internasional memprediksi harga nikel tahun 2017 berada pada kisaran USD 11.000 sampai USD 12.250 per ton. Namun setelah diterbitkan, para analis nasional merevisi prediksi harga nikel di kisaran USD 9.800 sampai USD 10.300.

"Harga nikel saat ini sangat rendah, paling tidak 25 persen produsen nikel di dunia beroperasi dengan arus kas negatif. PT Vale sendiri masih dapat mempertahankan arus kasnya, walaupun membukukan rugi sebesar USD 23 juta pada enam bulan pertama tahun 2017," jelas Febrianty.

Febrianty melanjutkan, sampai saat ini pemerintah telah menerbitkan izin ekspor sebesar 8 juta ton. Walaupun realisasi ekspor saat ini masih rendah, namun pasar telah memperhitungkan jumlah tersebut dalam menghitung suplai bijih nikel dunia.

"Jumlah 8 juta ton ini tidak bisa dianggap remeh karena mencerminkan sekitar 4 persen dari suplai nikel dunia. Jumlah 8 juta ton izin ekspor tersebut diterbitkan dalam kurun waktu kurang lebih 7 bulan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa akan lebih banyak lagi volume ekspor bijih nikel yang akan diizinkan sampai dengan 5 tahun ke depan," tuturnya.

Febrianty mengakui dalam beberapa minggu terakhir terjadi perbaikan indikator-indikator makro ekonomi di China yang membantu meningkatnya harga nikel. Kenaikan harga ini sebenarnya bisa lebih tinggi, namun tertekan dengan proyeksi volume bijih ekspor dari Indonesia.

"Kami sangat prihatin mengingat bijih nikel Indonesia yang begitu berharga dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui diperbolehkan untuk diekspor kembali dengan nilai yang rendah. Hal ini tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk menciptakan nilai tambah dalam negeri," katanya.

Indonesia sebenarnya mempunyai posisi yang sangat kuat untuk membuat investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri dalam bentuk pembangunan smelter. Hal ini bisa dilihat bahwa sejak dilarangnya ekspor bijih nikel mentah sampai akhir tahun lalu, telah terjadi paling tidak investasi senilai USD 6 milliar.

"Namun dengan diperbolehkan kembali ekspor bijih nikel akan mengurangi insentif membangun di dalam negeri karena pasokan bijih mentah menjadi tersedia di China. Sehingga tidak lagi menjadi keharusan bagi para investor untuk membangun smelter di Indonesia," paparnya.

"Hal ini juga menyebabkan sulitnya kami mendapatkan potensi mitra untuk berinvestasi di Pomalaa dan Bahodopi. Oleh karenanya, kami akan terus berdialog dengan Pemerintah untuk mendapatkan solusi yang terbaik," pungkasnya.

(mdk/sau)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP