Penjelasan Lengkap Pemerintah Soal AS 'Tendang' RI dari Daftar Negara Berkembang

Merdeka.com - Kementerian Koordinator Perekonomian menjelaskan duduk perkara dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat (AS). Di mana, pada 10 Februari 2020, United States Trade Representative (USTR) menerbitkan Notice yang mengeluarkan Indonesia dan sejumlah negara lain dari daftar negara berkembang.
Publikasi tersebut termaktub dalam Federal Register Vol 85 No 27 Halaman 7613 (85 FR 7613) 'Designations of Developing and Least-Developed Countries Under the Countervailling Duty Law'.
Pemerintah menjelaskan kebijakan tersebut berdampak pada US countervailing duty investigations terhadap negara-negara berkembang yang dideklarasikan sendiri oleh AS.
"Meliputi Albania; Argentina; Armenia; Brazil; Bulgaria; Cina; Kolumbia; Kosta Rika; Georgia; Hongkong; India; Indonesia; Kazakhstan; Republik Kyrgyzstan; Malaysia; Moldova; Montenegro; Makedonia Utara; Rumania; Singapura; Afrika Selatan; Korea Selatan; Thailand; Ukraina; dan Vietnam," tulis Kemenko Perekonomian di Jakarta, Selasa (25/2).
Kemenko Perekonomian melanjutkan, berbagai pelaku usaha di Indonesia, kemungkinan berpandangan bahwa kebijakan tesebut dapat berdampak pada manfaat Generalized System of Preferences (GSP) Amerika Serikat untuk produk ekspor Indonesia. Salah satu kriteria Fasilitas GSP adalah pemberian kepada negara least developed countries dan negara berkembang.
Namun demikian, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta telah memberikan klarifikasi yang menegaskan bahwa notice USTR yang baru tersebut tidak berpengaruh terhadap pemberian fasilitas GSP Indonesia. Kebijakan tersebut hanya berdampak pada US countervailing duty investigations bukan pada program GSP.
"Status penerima GSP yang didasarkan pada 15 kriteria eligibilitas, didasarkan pada Undang-undang yang berbeda, termasuk kriteria negara berkembang dan LDCs yang ditentukan oleh World Bank. Undang-Undang GSP tidak menjadikan status 'negara berkembang' sebagai pertimbangan," jelas Kemenko Perekonomian.
Pemerintah menjelaskan Pemerintahan AS mendasarkan kebijakan tersebut untuk negara-negara yang termasuk dalam kategori tertentu, seperti mereka yang menjadi anggota klub ekonomi global seperti G-20, OECD atau yang diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan tinggi oleh Bank Dunia.
USTR melakukan revisi metodologi dalam mengklasifikasi negara dengan ekonomi berkembang yang didasarkan pada panduan yang disusun pada 1998.
WTO memiliki preferensi khusus pengkategorian negara berkembang dan negara maju. Pengklasifikasian negara berkembang bertujuan untuk membantu negara-negara miskin dalam mengurangi kemiskinan, menghasilkan lapangan kerja dan mengintegrasikan diri mereka ke dalam sistem perdagangan global.
Di bawah aturan WTO, pemerintah diwajibkan untuk menghentikan penyelidikan tugas countervailing jika jumlah subsidi asing de minimis, yang biasanya didefisinisikan kurang dari 1 persen ad valorem. Pada negara berkembang, WTO memberi standar berbeda, yakni mengharuskan penyelidik untuk menghentikan penyelidikan tugas jika jumlah subsidi kurang dari 2 persen ad valorem.
Ini Alasan Indonesia Masih Butuh Kemudahan Ekspor dari Negara Lain
Dirjen Perundingan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo mengakui bahwa Indonesia masih membutuhkan fasilitas GSP (Generalized System of Preference) dalam melakukan perdagangan internasional.
"Saya kurang setuju kalau dikatakan Indonesia sudah anggota G20 lantas hilang haknya (mendapatkan GSP). Tidak juga, kita masih kategori negara berkembang yang bisa mendapatkan fasilitas GSP, entah dari Eropa, AS, Jepang, atau yg lainnya," ungkapnya saat ditemui, di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (20/7).
Memang, pemberian GSP merupakan hak mutlak dari suatu negara. Fasilitas tersebut kata diberikan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi negara penerima fasilitas itu.
"Ada kriteria di GSP, country eligibility, di mana parameternya bisa macam-macam, human rights, labor rights, IPR (Intellectual Property Rights). Juga ada kriteria yang dia terapkan yaitu competitive need limitations (CNL). Jadi untuk produk-produk yang sudah melampaui CNL itu akan digraduasi dari cakupan fasilitas GSP. Jadi ada hitung-hitungannya sendiri," imbuhnya.
Terkait rencana pencabutan GSP oleh AS, kata Iman sebenarnya dapat dimengerti. Sebab dalam pandangan AS, Indonesia sudah tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan GSP. "Tidak hanya kepada Indonesia, tapi juga India dan Kazakhstan, karena mereka melihat kok tampaknya beberapa parameter yang dia terapkan untuk memberikan fasilitas GSP ke negara-negara ini tidak terpenuhi," kata dia.
"Indonesia market sharesnya sudah semakin baik dan tidak ada pesaing yang bisa mendekati, dan tidak ada produk domestik serupa di AS, ya dia akan digraduate dari GSP," lanjut Iman.
Meskipun GSP adalah hak mutlak negara pemberi, Pemerintah Indonesia tentu tetap mengharapkan mendapatkan fasilitas tersebut untuk mendukung kinerja perdagangannya luar negeri.
Pemerintah akan terus melakukan negosiasi dengan pihak AS agar GSP untuk produk Indonesia tidak dilakukan. Indonesia kata dia punya pengalaman dalam bernegosiasi agar produk yang sudah dicabut GSP-nya, kembali diberikan fasilitas itu.
"Produk auto-wiring set dikeluarkan dari GSP pada 2013 atau 2014 kalau tidak salah, karena Indonesia market share-nya dianggap sudah kompetitif untuk bersaing di AS vis-a-vis supplier negara lain," ujarnya.
"Tapi 2014 kita minta untuk dikecualikan dari perhitungan CNL karena alasan kita, kemajuan teknologi membuat produk seperti ini cepat berganti nilai competitivenessnya. Jadi seingat saya 2015 sudah dimasukkan lagi. Jadi itu memang bisa dilakukan redesignation of products," tandasnya.
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya