Sebelum Mayor Teddy, Ajudan Menhan Ini Sudah Lebih Dulu Dikagumi Masyarakat
Hal ini tidak lain karena paras Sang Ajudan yang dinilai tampan bagi sebagian kaum wanita.
Hal ini tidak lain karena paras Sang Ajudan yang dinilai tampan bagi sebagian kaum wanita.
Sebelum Mayor Teddy, Ajudan Menhan Ini Sudah Lebih Dulu Dikagumi Masyarakat
Ajudan Menhan Ini Sudah Lebih Dulu Dikagumi Masyarakat
Selama kontestasi pemilihan presiden-wakil presiden 2024, sosok Teddy Indra Wijaya selalu menjadi sorotan publik. Hal ini tidak lain karena parasnya yang dinilai tampan bagi sebagian kaum wanita.
Teddy merupakan ajudan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang saat ini merupakan calon presiden dengan meraih suara lebih dari 50 persen berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga survei.
Teddy merupakan anggota TNI Perwira Menengah Golongan IV berpangkat Mayor. Gaji yang diterima Teddy sebagai anggota berkisar Rp3.240.108 - Rp5.324.508. Angka ini di luar dari tunjangan.
Namun, jauh sebelum media sosial menjadi wadah popularitas seseorang, ajudan Menteri Pertahanan sebelum Teddy juga menjadi pujaan kaum wanita. Dia adalah Kapten Pierre Tendean.
Pierre merupakan ajudan dari Menteri Pertahanan yang kala itu dijabat AH Nasution.
Dalam buku biografi Pierre Tendean yang ditulis oleh Masykuri, mengulas tentang sosok pria blasteran Sulawesi-Prancis.
Pierre merupakan pria kelahiran Batavia 21 Februari 1939. Dia merupakan putra dari pasangan Aurelius Lammert Tendean dari Suku Minahasa dan Maria Elizabeth Cornet, perempuan berdarah Prancis kaukasian.
Pierre memiliki satu kakak perempuan, dan satu adik perempuan. Ayahnya yang berprofesi dokter meminta Pierre untuk mengikuti jejaknya sebagai dokter.
Sejak remaja, Pierre sudah sangat digandrungi remaja perempuan yang ingin berkenalan atau menjalin hubungan.
Namun ajakan para remaja perempuan itu ditolak Pierre.
Dia tak ingin belajarnya terganggu hanya karena hubungan 'cinta monyet'.
Semakin beranjak dewasa, orang tua Pierre menginginkan agar anak laki-laki satu-satunya di keluarga itu menjadi dokter.
Mengikuti profesi turun temurun keluarga. Namun, keinginan orang tua Pierre ditolak.
Pierre bersikukuh ingin menjadi seorang tentara. Satu satunya anggota keluarga yang menyetujui cita-cita Pierre untuk memasuki Akademi Militer hanya kakaknya, Mitzi Farre.
Di satu sisi, Pierre tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya.
Selain mendaftar di Akademi Militer, Pierre juga mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Fakultas Teknik di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Hasil tes dari dua universitas itu menunjukan, Pierre tidak lolos. Menurut Mitze, Pierre tidak lulus bukan karena tidak mampu mengerjakan soal-soal.
Melainkan sengaja tidak mengerjakan soal-soal itu agar memperoleh peluang memasuki Akademi Militer.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer, Pierre mendapat tugas menjadi agen intelejen di Malaysia.
Tugas ini mengganggu ketenangan ibu Pierre yang tak ingin nyawa anak putra satu-satunya terancam.
Sang ibu kemudian memohon agar Pierre ditarik menjadi pasukan belakang.
Permohonan itu pun dikabulkan. Hingga akhirnya, April 1965 Pierre diangkat menjadi ajudan Menteri Pertahanan Jenderal A.H Nasution.
Tugas Pierre sebagai ajudan tidak lama. Pada malam 1 Oktober 1965 merupakan pengabdian terakhir Pierre.
Pasukan Tjakrabirawa yang hendak menangkap Jenderal Nasution malah menyangka Pierre sebagai Nasution dan membawanya Ke kawasan Lubang Buaya Jakarta Timur.