Tiga Kendala UMKM Tidak Bisa Naik Kelas

Merdeka.com - Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mendorong para pelaku usaha UMKM naik kelas. Dia ingin pelaku usaha mikro naik kelas ke usaha kecil, pelaku usaha kecil naik kelas ke usaha menengah dan pelaku usaha menengah naik ke pelaku usaha besar.
Sayangnya, Pembina UKM Center Universitas Indonesia Nining Soesilo pesimis dengan mimpi Teten. Selama 15 tahun membina UMKM, Nining melihat masih banyak kendala yang harus diselesaikan untuk mewujudkan UMKM naik kelas.
Dalam sebuah penelitian di Harvard University, kata Nining, ada 3 hal yang membuat UMKM di negara berkembang tidak bisa naik kelas. Pertama, produk UMKM yang kurang diminati konsumen. Produk mereka kalah dengan barang impor.
"Ketidakcintaan terhadap produk dalam negeri buat mereka (UMKM) enggak bisa naik kelas," kata Nining di Jakarta, Jumat (14/2).
Kedua, pelaku UMKM takut dihantui oleh pajak. Para pelaku usaha enggan naik kelas lantaran takut dikenakan pajak yang membuat pendapatan mereka berkurang.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara berkembang hal ini lazim terjadi.
Ketiga akses pembiayaan. Kondisi juga banyak terjadi di berbagai negara. Masalah Indeks Kemudahan Berbisnis (EODB) ikut jadi kendala UMKM tidak bisa naik kelas. Namun, jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya akses pembiayaan saat ini sudah lebih dipermudah.
Untuk itu, upaya pemerintah menginginkan para UMKM naik kelas bakal mendapatkan tantangan besar. Apalagi jika mereka didorong untuk membentuk perusahaan terbuka. Meski memang persyaratannya dipermudah, namun hal itu tak lantas membuat pelaku UMKM mau bertransformasi. Alasannya, secara psikologis pelaku UMKM takut menjadi besar.
Mereka merasa terbebani jika membuat PT karena harus mengembangkan usahanya. "UMKM makin kecil, makin malas kembangkan usaha," kata Nining.
Digitalisasi Bantu UMKM Naik Kelas
Data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2018 mencatat kontribusi UMKM Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 61 persen dari total 64,18 juta UMKM. UMKM juga menyumbang 14,3 persen ekspor Indonesia ke berbagai negara
Namun, mayoritas UMKM didominasi usaha mikro dan ultra mikro. Sehingga rata-rata konsumsinya kecil.
"Pertumbuhan output usaha kecil lumayan tinggi dan untuk mikro di bawah pertumbuhan ekonomi nasional," kata Kepala UKM Center Universitas Indonesia, Zakir Sjakur Machmud di Jakarta, Jumat (14/2).
Jenis usaha UMKM terbesar di sektor pertanian sebanyak 49,9 persen dengan atau 26 juta pelaku usaha. Disusul perdagangan besar dan eceran sebanyak 23,3 persen atau 12 juta pelaku usaha.
Di posisi ketiga sebanyak 8,5 persen atau 4 juta pelaku usaha bergerak di sektor penyediaan akomodasi dan makan minuman.
Salurkan Pinjaman ke UMKM
Hingga tahun 2018, pemerintah telah menyalurkan pinjaman hingga Rp1.134,7 triliun. Dana ini tersalurkan lewat kredit bank, kredit non bank, fintech lending (P2P lending), PKBL dan BLU.
Di tahun 2019, pemerintah menggelontorkan pembiayaan untuk UMKM hingga Rp6,06 triliun. Disalurkan lewat di lebih dari 20 kementerian dan lembaga, 118 rencana aksi/kegiatan dan 3 pilar pengembangan.
Penggelontoran dana besar-besaran ini kata Zakir sebagai bentuk upaya pemerintah memprioritaskan UMKM. Bahkan UMKM sudah jadi fokus kebijakan pemerintah.
Zakir menyebut, untuk mewujudkan UMKM naik kelas perlu didorong untuk bertransformasi ke pasar digital. Memang bukan jadi faktor utama UMKM bisa naik kelas. Tetapi, dengan digitalisasi UMKM bisa mempercepat proses naik kelas atau sebagai kendaraannya.
"Digital bisa membantu mempercepat dan membantu naik kelas yang lebih efisien," kata Zakir.
Dengan begitu, lanjut dia, bisa mempercepat peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hanya saja, masih banyak kendala yang perlu dihadapi seperti persaingan usaha dan pemasaran produk.
Padahal dengan digitalisasi, UMKM secara langsung terbantu dari segi pemasaran produk. Namun hal ini banyak yang belum dipahami para pelaku UMKM.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya