Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli

Bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli Napak Tilas Kemerdekaan RI di Tugu Proklamasi. ©Liputan6.com/Immanuel Antonius

Merdeka.com - Dulu para Bapak Bangsa memulainya dengan sebuah tiang bambu dan bendera yang dijahit dari seprai dan kain tukang soto. Lewat mesin ketik pinjaman dari perusahaan pelayaran Jerman.

Hari itu, 17 Agustus 1945 sebuah negara baru telah lahir. Tak ada suara musik dengan genderang atau terompet, tak ada jamuan makan kenegaraan. Tak ada kemewahan sama sekali. Bahkan Soekarno pun tak pernah membayangkan seperti inilah momen paling historis bagi bangsanya.

Merdeka artinya berdaulat. Menentukan nasib sendiri. Berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Hari itu Indonesia merdeka.

Hari-hari selanjutnya bangsa ini bergerak perlahan. Penuh kesederhanaan yang memancing senyum. Siapa kira mobil kepresidenan adalah mobil curian. Atau perintah pertama Yang Mulia Presiden Republik Indonesia ternyata dititahkan pada seorang tukang sate di pinggir jalan.

"Beri aku sate 50 tusuk," kata Soekarno. Dan malam itu sang presiden makan dengan lahap sambil berjongkok di pinggir jalan, dekat selokan.

Namun kemerdekaan bukanlah tujuan akhir. Seperti kata Bung Karno, kemerdekaan hanya jembatan emas untuk mencapai kemakmuran seluruh rakyatnya.

Para Bapak Bangsa punya mimpi besar untuk negara baru ini. Indonesia bukan bangsa kuli. Bukan bangsa tempe. Bukan bangsa yang lembek.

"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita," pidato Presiden Soekarno.

Selamat Ulang Tahun ke-73 Republik Indonesia. Mari terus berkarya untuk bangsa ini. Merdeka! (mdk/ian)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP