Mantan Presiden Korea Selatan Sebut Pihak Oposisi Bersikap Jahat Padanya, Jadi Pemicu Deklarasi Darurat Militer
Yoon kini menghadapi dua masalah besar, yaitu pemakzulan dan tuduhan pemberontakan setelah dikeluarkannya deklarasi darurat militer.

Mantan presiden Yoon Suk Yeol mengungkapkan bahwa oposisi yang dianggapnya "jahat" bertanggung jawab atas keputusannya mendeklarasikan darurat militer. Dia berpendapat, keengganan mereka untuk berkolaborasi menunjukkan niat untuk "menghancurkan" pemerintahannya. Sebelumnya, pada 3 Desember 2024, Yoon yang merupakan seorang mantan jaksa, mengumumkan darurat militer yang menangguhkan pemerintahan sipil dan mengerahkan pasukan ke parlemen, yang kemudian memicu gejolak politik di Korea Selatan.
Namun, keputusan tersebut hanya bertahan enam jam karena parlemen yang dikuasai oposisi menolak dan membatalkan deklarasi dengan suara mayoritas, yang berujung pada pemakzulannya. Setelah itu, pada pertengahan Januari, Yoon ditangkap dengan tuduhan pemberontakan akibat deklarasi darurat militer, menjadikannya sebagai kepala negara Korea Selatan pertama yang ditangkap saat menjabat.
- Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Ditahan, Diduga Terkait Darurat Militer
- Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Akhirnya Minta Maaf Sebelum Pemungutan Suara untuk Pemakzulan
- Pemakzulan Presiden Korea Selatan Digelar Hari Ini, Terancam Hukuman Mati
- Presiden Korea Selatan Tegaskan Tak Akan Mundur, Bela Pernyataan Darurat Militer
Saat ini, dia sering dihadirkan dari penjara untuk menjalani sidang di Mahkamah Konstitusi, yang akan memutuskan apakah pemecatannya akan disahkan. Pada sidang yang berlangsung hari Selasa, Yoon mengeluhkan kurangnya rasa hormat dari oposisi selama masa jabatannya.
"Seberapa pun mereka membenci saya, prinsip dasar dari dialog dan kompromi adalah mendengarkan saya dan memberikan tepuk tangan untuk pidato anggaran saya di parlemen," ucap Yoon yang kini berusia 64 tahun di hadapan pengadilan, seperti yang dilaporkan Channel News Asia, Rabu (12/2).
Dia juga menyoroti anggota parlemen oposisi tidak hadir di ruang utama, mengakibatkan dirinya terpaksa memberikan pidato di parlemen yang hampir kosong. Yoon menilai tindakan tersebut sebagai "jahat" dan menunjukkan niat oposisi untuk menghancurkan pemerintahannya. Selain itu, dia juga mengeluhkan perilaku anggota parlemen oposisi yang hadir pada pidato lainnya, yang "menoleh" dan "menolak berjabat tangan" dengannya. Dalam deklarasi darurat militer, Yoon menyebutkan bahwa oposisi merupakan "elemen anti-negara" yang berencana untuk memberontak, dan menyatakan bahwa perintah darurat itu penting untuk menjaga tatanan konstitusional.
Sidang yang dijadwalkan pada Kamis (13/2) diperkirakan akan menjadi yang terakhir sebelum pengadilan memutuskan apakah pemakzulan terhadapnya akan disetujui. Jika keputusan tersebut diambil, pemilihan presiden baru akan dilaksanakan dalam waktu 60 hari. Sebagian besar sidang pemakzulan Yoon berfokus pada apakah dia telah melanggar konstitusi dengan menyatakan darurat militer, yang hanya diperbolehkan dalam situasi darurat nasional atau masa perang.
Yoon menyatakan pekan lalu, meskipun ia menginstruksikan penangkapan anggota parlemen untuk mencegah veto terhadap perintah darurat militer, tindakan tersebut tidak melanggar hukum karena perintah itu tidak pernah dilaksanakan. Di sisi lain, tuduhan pemberontakan yang dihadapinya mengancam Yoon dengan hukuman penjara atau bahkan hukuman mati.