Food Vlogger Kena Blacklist Usai Dianggap Hina Warung Rawon, Ujungnya Minta Maaf
Seorang food vlogger bernama Debi Pratama viral karena memberi penilaian buruk terhadap warung rawon di Jogja.
Seorang food vlogger bernama Debiprt, atau Debi Pratama, tengah menjadi perbincangan hangat setelah memberikan ulasan negatif tentang sebuah warung rawon di Jogja. Video review yang diunggahnya menuai kritik dari warganet karena dianggap berlebihan dan cenderung menghina.
Dalam video tersebut, Debiprt menyatakan, "Rawon tanpa setan harganya Rp17 ribu, nasinya Rp5 ribu, kuanya keasinan, pantas aja dipisah," yang kemudian diunggah kembali oleh akun Twitter atau X @gastronusa pada Senin, 30 September 2024. Pernyataan-pernyataan yang kontroversial ini membuat Debiprt masuk dalam daftar hitam atau blacklist para pelaku usaha kuliner di Yogyakarta.
- Viral Chef Juna Ngamuk Mobil Mewahnya Diserempet Sopir Truk lalu Cekcok, Begini Momennya
- Dagangan di Toko Kelontong Ini Disusun Kelewat Rapi, Bikin Warganet Heran
- Viral Remaja Palak Penjaga Warung Kelontong di Bandung, Ancam Pakai Senjata Tajam
- Viral Pria Bawa Nasi Bungkus saat Lomba Makan Kerupuk, Bikin Ngakak
Akun tersebut juga membagikan foto yang menunjukkan wajah Debiprt yang telah di-blacklist oleh para pengusaha kuliner di Jogja. Dalam unggahan tersebut tertulis, "Kami pelaku usaha F&B Jogja sepakat untuk blacklist @debiprt." Keterangan lebih lanjut menyatakan, "Dalam bisnis, risiko keuangannya besar. Membangun usaha tidaklah mudah, bisa berujung pada utang. Di bawahnya ada karyawan yang mungkin sedang mencicil motor. Kelebihan yang kamu miliki bukan untuk merusak usaha orang lain."
Debi Pratama, yang lebih dikenal sebagai Debiprt, adalah seorang food vlogger yang sering membagikan review kuliner di media sosial seperti TikTok dan Instagram. Dalam setiap ulasannya, ia diketahui sering memberikan penilaian yang kurang menguntungkan bagi pemilik usaha kuliner. Hal ini menjadikannya sosok influencer yang kontroversial, terutama di kalangan pengusaha kuliner di Yogyakarta.
Sebelumnya, Debi Pratama belum banyak dikenal publik karena masih baru dalam dunia food vlogging. Namun, setelah video review warung rawon yang viral, namanya kini menjadi sorotan dan bahkan masuk dalam daftar hitam pelaku bisnis kuliner, khususnya di Jogja. Kontroversi ini semakin meluas ketika cuitan dari akun X @txtdrkuliner yang mengajak untuk memblacklist Debi Pratama mendapatkan lebih dari 700 ribu tayangan.
Menonaktifkan Akun di Platform Media Sosial
Debi kemudian menjadi sasaran kritik dari warganet setelah terungkap bahwa ia telah beberapa kali memberikan ulasan negatif, bahkan ada yang berujung pada kebangkrutan. Setelah menjadi viral, Debi diduga menghapus semua akun media sosialnya untuk menghindari komentar pedas dari netizen.
Namun, setelah menghilang dari dunia maya, warganet justru menyerukan agar Debi menunjukkan tanggung jawab. Publik meminta agar ia meminta maaf dan memberikan klarifikasi atas tindakan yang merugikan orang lain. "Setidaknya buat video permohonan maaf dan klarifikasi, kalau tidak, bisa terjerat UU ITE," tulis salah satu warganet.
Video ulasannya pun viral dan dibagikan di berbagai akun media sosial, termasuk Instagram @1mood.jakarta. "Belum lama ini, Debi mereview menu rawon andalan dari sebuah warung makan rumahan di Jogja. Warung tersebut, seperti umumnya warung makan rumahan, tidak pernah mengklaim diri sebagai yang terbaik atau paling otentik, semuanya disajikan dengan sederhana," demikian keterangan unggahan pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Namun, faktanya banyak pelanggan yang jatuh cinta dengan menu yang ditawarkan. Bahkan, ada yang sering kembali ke warung tersebut sehingga kini sudah memiliki banyak pelanggan tetap.
Ajukan Permintaan Maaf Secara Langsung
"Debiprt dengan sikap sombongnya datang dan memberikan ulasan tentang rawon tersebut dengan bahasa yang tidak sopan menurut banyak orang di media sosial, sehingga memberikan kesan negatif," tulis unggahan itu.
"Mungkin dia ingin meniru food vlogger yang pernah mereview makanan di tempat tersebut, tetapi justru gagal dan membuat banyak orang marah. Selain itu, Debiprt juga memberikan penilaian rendah, yaitu sekitar 14 dari 21 untuk rasa menu rawon," tambahnya.
Berita terbaru menyebutkan bahwa Deni akhirnya meminta maaf kepada pemilik Warung Makan Rawon Mamiku di Jogja. Debi Pratama menemui langsung pemilik yang bernama Gilang. Dalam foto yang diunggah di akun Instagram @gumoninn, Devi yang mengenakan kemeja putih terlihat berjabat tangan dengan Gilang.
Dalam unggahan yang sama di Instagram @gumoninn dan Twitter @txtdrkuliner pada Rabu, 2 Oktober 2024, Devi menyatakan, "Saya Debi, pemilik akun @debiprt_, telah bertemu langsung dengan pemilik @warungmakanmamiku."
"Saya telah meminta maaf atas kesalahan yang saya buat dalam postingan review rawon yang merugikan Warung Makan Mamiku," sambungnya.
Selain itu, Debi juga meminta maaf kepada warung-warung lain yang merasa dirugikan oleh tindakannya. Debi menegaskan bahwa dia sama sekali tidak berniat untuk menjatuhkan usaha tersebut. "Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan serupa kepada warung lain. Mohon maaf atas keributan yang terjadi," tutupnya.
Tata Krama dalam Penilaian Makanan
Beberapa waktu yang lalu, praktisi dan penulis kuliner Kevindra Prianto Soemantri mengungkapkan bahwa sebelum era digital, tanggung jawab untuk mengkritik makanan secara profesional berada di tangan para kritikus restoran.
"Sebelum munculnya blogging dan Instagram, hanya kritikus restoran dari media massa yang memiliki hak untuk menilai restoran," jelas Kevin seperti dilansir dari Liputan6.com pada Kamis, 21 September 2023.
Ia menambahkan bahwa para kritikus restoran di media massa dilengkapi dengan etika jurnalistik dan diajarkan untuk bersikap profesional. "Namun, di era digital ini, di mana setiap orang dapat mengemukakan pendapat, banyak orang yang sebenarnya tidak memiliki pelatihan atau latar belakang sebagai jurnalis atau kritikus, sehingga mereka merasa bebas untuk berbicara, meskipun sayangnya sering kali di luar konteks dan tidak menyadari bahwa peran seorang kritikus restoran adalah sebagai pengamat," ujarnya.
Penulis buku "Jakarta A Dining History: Transformasi Lanskap Restoran Ibu Kota dari Abad Ke-19 hingga 1990" ini juga menekankan pentingnya pengamatan yang didasarkan pada data dan observasi, bukan hanya berdasarkan pengalaman sekali makan yang kemudian dikritik atau diulas.
"Kalau kita sebagai kritikus restoran, sebaiknya datang tanpa memberi tahu karena jika meminta izin, mereka akan tahu siapa kita dan memberikan pelayanan yang istimewa. Cukup datang dan nikmati makanan seperti pelanggan biasa," tambahnya.
Kevin juga menyarankan agar tidak hanya sekali mengunjungi suatu tempat untuk ulasan makanan atau restoran, melainkan setidaknya 3 hingga 4 kali untuk memastikan konsistensi rasa dari hidangan yang disajikan.