Lurah Harapan Mulya sebut bahasa Ahok jadi sumber masalah bagi RT/RW
Keinginan RT/RW pelaporan lewat aplikasi Qlue merupakan sebuah tugas tambahan.
Pro kontra soal penerapan kebijakan penggunaan aplikasi Qlue masih terus berlanjut. Sejumlah RT dan RW masih melakukan penolakan, walaupun telah diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 903 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan tugas dan fungsi RT dan RW di DKI.
Seperti yang terjadi di Kelurahan Harapan Mulya, Jakarta Pusat. Lurah Harapan Mulya, Darmadi mengatakan, masih ada sekitar 20 persen RT/RW yang menolak aturan yang dikeluarkan pada April 2016.
Selain karena dirasa sulit, rupanya sejumlah pihak yang menolak penggunaan aplikasi Qlue untuk laporan lantaran tersinggung. Mereka merasa terhina akibat adanya sistem bayaran pada aturan itu.
"Ya itu ribet katanya, tapi sebenarnya alasannya bukan itu, tapi karena setiap klik dihargai Rp 10 ribu. Sedangkan RW itu kan ada yang kaya, ada juga yang enggak. Jadi yang nolak itu gini, saya ini bukan menolak soal qlue tapi uang Rp 10 ribu itu kok yah, seolah-olah kita ini jadi warga yang dianggap hina, orang yang enggak dianggap tidak berpenghasilan," ungkap Darmadi saat ditemui di RPTRA Harapan Mulya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (1/6).
Kepada merdeka.com, Lurah Harapan Mulya ini menuturkan, keinginan RT/RW pelaporan lewat aplikasi Qlue merupakan sebuah tugas tambahan. Mereka tidak akan mempermasalahkan soal uang yang diberikan tersebut. Biarkan uang intensif operasional itu tetap ada dengan catatan tanpa perlu menghargai sejumlah uang untuk setiap pelaporan.
"Maunya RT/RW ini sebagai tambahan tugas saja, enggak dihitung duit enggak apa-apa. Jadi uang intensif operasional itu tetap ada tanpa harus menjadi syarat untuk mendapatkan uang itu," terang Darmadi.
"Jadi yang buat enggak setuju ya itu, bahasanya itu yang enggak. Saat enggak lapor terus jadi enggak dapat uang itu yang membuat mereka tersinggung," lanjutnya.
Dia mengungkapkan, RT/RW yang enggan membuat laporan atau tidak mencapai target, maka dana intensif operasional itu akan dikurangi. Pasalnya, kini dana intensif tersebut dipergunakan juga untuk kepentingan warga bukan kepentingan pribadi.
"Ya kalau enggak lapor dikurangin intensifnya itu. Nah yang membuat mereka marah itu karena mereka dianggap seperti pengangguran," kata Darmadi.
Darmadi mengklaim, jauh sebelum ada aturan tersebut, para RT dan RW ini justru kerap mengeluarkan uang pribadi untuk kepentingan warga.
"Kami itu dulu justru terus terang, enggak ada dana seperti ini semua tetap jalan kok enggak ada yang sia-sia. Bahkan kalau ada apa-apa sering kok mereka sendiri yang mengeluarkan uang," ungkapnya.
"Jadi sebetulnya uang itu bukan untuk dia pribadi tapi untuk kegiatan masyarakat. Kaya misalnya ngumpulin warga, beli kopi apa makanan ya pakai uang itu. Buat beli pot, beli inventaris umbul-umbul ya pakai uang itu kurangnya baru tambah pakai uang warga atau uang sendiri," Darmadi mengakhiri.