Akar masalah data pemilih
KPU lebih baik membangun sistem data pemilih sendiri daripada harus menerima data kependudukan yang belum matang.
September 2014 ini KPU mestinya sudah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2014 nanti. Namun karena masih ada 65 juta nama yang belum jelas status datanya, maka atas rekomendasi DPR, KPU menunda penetapan DPT.
Ketidakjelasan data 65 juta nama itu meliputi ketiadaan nomor induk kependudukan (NIK), nomor NIK ada tapi kurang atau lebih dari 16 digit. Selain itu, banyak warga yang melaporkan namanya belum masuk dalam daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP). Padahal mereka memiliki hak pilih: berumur 17 tahun atau sudah menikah.
Kekisruhan data pemilih ini seakan mengulang apa yang terjadi pada Pemilu 2009. Saat itu, keributan menjelang pemilu bisa diredam oleh KPU dengan janji bahwa DPT akan beres menjelang hari H pemilihan. Namun janji palsu KPU, membuat kemarahan masyarakat meledak pada hari H pemilihan. Komnas HAM turun tangan, karena ini menyangkut pemenuhan hak politik warga negara.
Temuannya mengejutkan: 30% warga yang memiliki hak pilih tidak dapat memilih karena namanya tidak tercantum dalam DPT. DPR menggunakan hak interpelasi, dan memutuskan anggota KPU dipecat.
Menghadapi kekisruhan data pemilih, kini, KPU bersikap rasional: berterus terang daftar pemilih ada masalah; tidak langsung menjanjikan DPT akan beres, tetapi berkeras hendak membereskannya.
Kali ini, pemilih tidak hanya bisa mengecek keberadaan namanya di kantor-kantor desa/keluarahan, tetapi juga melalui internet.
Partai politik juga memperbaiki sikapnya. Jika lima tahun lalu, mereka asal jeplak dan mengecam KPU setiap waktu; kini, mereka menunjukkan kasus nyata bila ada masalah. Mereka mengumpulkan informasi soal data kependudukan dari bawah, karena KPU memberikan DPS dan DPSHP kepada pengurus partai politik kecamatan. Namun semua itu, tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah data pemilih.
Masalah ini sedemikian kompleks, sehingga komitmen dan kerja keras saja takkan cukup. Masalah data pemilih terdiri dari tiga lapis: sistem, manajemen, dan operasional. Ketiganya membutuhkan langkah penyelesaian berbeda.
Pertama, sistem data pemilih. Menurut UU No 8/2012, sistem data pemilih merupakan perpaduan dari sistem data kependudukan yang ada di Kemendagri dan sistem data pemilih yang ada di KPU. Perpaduan itu tidak menghasilkan sistem yang lebih bagus. Selain karena masing-masing memiliki fungsi berbeda, keduanya juga belum matang.
Sistem data kependudukan yang menggunakan NIK dan berbasis pada kartu keluarga belum menjangkau semua warga, karena untuk mendapatkan status penduduk, warga harus memenuhi banyak persyaratan dan mengikuti prosedur adminstrasi. Jangankan di pelosok pegunungan dan di kepulauan terpencil, warga kota yang sudah memiliki kartu keluarga dan NIK saja, belum tentu mengupdate data setiap kali terjadi perubahan: kelahiran, kematian, kepindahan.
Sementara, KPU mengembangkan sistem daftar pemilih berdasar tuntutan konstitusi, bahwa setiap warga negara yang mempunyai hak pilih wajib masuk DPT, tidak peduli mereka tinggal di mana. Masalahnya sistem data pemilih yang dikembangkan KPU sejak Pemilu 2004 tidak mendapat sokongan penuh dari pembuat kebijakan, sehingga hingga kini sistem data pemilih sebetulnya belum sempurna.
Kombinasi dua sistem yang sama-sama belum matang itulah, menjadi sumber utama masalah data pemilih. Dalam kondisi seperti itu, sebaiknya KPU dipersilakan membangun data pemilih sendiri, sampai sistem data kependudukan benar-benar matang. Bagi KPU lebih mudah memperbarui datanya sendiri, dari data pemilu terakhir misalnya, daripada harus menyusun data pemilih baru yang berasal dari Kemendagri.
Kedua, masalah manajemen. Masalah manajemen data pemilih biasanya ditandai oleh anggaran yang belum turun pada kegiatan pendataan sudah berjalan. KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sedang melakukan rekrutmen dan pergantian anggota, padahal pendataan membutuhkan kontrol ketat. Dalam kondisi seperti itu, rasanya mustahil bagi KPU untuk bisa memaksimalkan kerjanya dalam memperbaiki data pemilih.
Ketiga, masalah operasional di lapangan. SOP pendataaan pemilih sebetulnya sudah bagus. Artinya tinggal dilaksanakan saja oleh petugas di lapangan. Masalahnya, banyak petugas tidak memahami SOP karena tidak mengikuti pelatihan, atau pantarlih yang sudah mahir menunjuk orang lain yang belum terlatih untuk melakukan pendaftaran pemilih. Di sini kontrol PPK dan PPS sangat menentukan.