Jenderal polisi dan beking tentara
KPK mendapat beking tentara menghadapi polisi? Permainan atau kenyataan?
Bayangkan, apa yang akan terjadi kalau Jenderal Polisi Djoko Susilo sebagai tersangka kasus simulator SIM ditahan di sel tahanan Mako Brimob Pondok Kelapa, atau di sel tahanan Polda Metro Jaya. Gayus, tersangka penggelapan pajak saja, mendapat pelayanan istimewa, apalagi seorang jenderal polisi.
Entah kebetulan atau kebetulan yang disengaja, selesainya rehabilitasi sel tahanan Guntur Pomdam Jaya oleh KPK, berbarengan dengan proses penahanan Jenderal Djoko Susilo. Malah, sebelumnya beberapa pihak memperkirakan, Jederal Djoko akan jadi tahanan pertama KPK yang dijebloskan ke Guntur.
Ini bukan kasak kusuk wartawan peliput korupsi di KPK, melainkan prediksi para aktivis antikorupsi dan politisi. Menurut mereka, para jenderal polisi memiliki spirit de corps tinggi. Mereka juga memiliki kekuasaan yang nyaris tak terbatas.
Oleh karenanya, para jenderal polisi itu perlu mendapat peringatan: kalian tidak kebal hukum, kalau mau main hukum rimba masih ada raja rimba sejati! Penahanan jenderal polisi di sel tentara merupakan peringatan simbolik itu.
Penanganan kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri, tidak hanya menyita energi KPK, tetapi juga bikin geram banyak orang. Aksi perlawanan Mabes Polri tak hanya melampaui batas kepatutan, tetapi juga merusak akal sehat. Seakan di Republik ini tidak ada hukum, tidak ada otoritas dan tidak ada pemimpin.
Perhatikan sekali lagi rentetan perlawanan ini: menghentikan penggeledahan di Markas Korlantas, menetapkan tersangka yang sudah ditetapkan KPK, ngotot menangani sendiri kasus korupsi simulator SIM Polri, menggerebek gedung KPK untuk menangkap penyidik KPK, menarik penyidik polisi dari KPK, dan terakhir mantan penyidik KPK menjelek-jelakkan KPK di DPR.
Sudah demikin frustrasikah para jenderal polisi di Mabes Polri, sehingga mereka melakukan, atau memerintahkan anak buah untuk melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan? Atau, ini sesungguhnya cermin dari ketidakpahaman polisi bahwa tatanan kenegaraan dan sistem sosial politik sudah berubah?
Atau, jangan-jangan para jenderal polisi di Mabes Polri menganggap penanganan kasus pengadaan simulator SIM merupakan survival of the fittest, pertarungan hidup mati, sehingga etika, norma, sopan tantun, bahkan akal sehat diabaikan. Ini adalah pertarungan terakhir sehingga semua kekuatan harus dikerahkan, sebab kalah berarti runtuh semuanya: harta diri dan harga diri.
Menghadapi koruptor atau barisan koruptor yang mengajak bermain ala hukum rimba, sesungguhnya hal yang biasa dihadapi KPK. Selalu seperti itu perilaku koruptor: menghindari proses hukum, sambil mengancam, menakut-nakuti, dan menekan penyidik dan pimpinan KPK. Para koruptor dan calon koruptor pun tak ragu melakukan serangan balik, mulai dari mengumbar pernyataan di media sampai membuat kebijakan menjinakkan KPK. Semua biasa dihadapi KPK.
Tetapi kalau yang dihadapi adalah jenderal polisi yang mengendalikan Mabes Polri, masalahnya menjadi tidak mudah. Dengan segala kewenangannya, polisi nyaris bisa melakukan apa saja, termasuk membawa KPK ke belantara hukum rimba.
Situasinya menjadi menyulitkan KPK, karena pimpinan nasional tidak peduli dengan masalah ini. Presiden menolak disebut melakukan pembiaran, namun tidak bisa dihindari anggapan bahwa presiden justru menikmati suasana pertarungan ini. Ini terlihat ketika instruksinya diabaikan polisi, presiden diam saja.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh KPK agar misi memberantas korupsi tetap berjalan? Meneguhkan diri, menjaga independensi! Dukungan masyarakat sangat penting, dan dukungan itu yang selama ini menguatkan KPK. Cukup?
Belum! Sebab, atas nama ketertiban dan keamanan, polisi bisa melakukan tindakan apa saja terhadap KPK, termasuk menggunakan kekerasan. Sebagai aparat negara polisi memang berwenang melakukan kekerasan dengan senjata. Kalau hal ini sampai terjadi, KPK jelas tidak berkutik.
Oleh karena itu, apabila kerja sama KPK dengan TNI dalam penggunaan sel tahanan tentara untuk menahan koruptor, kemudian dimaknai banyak orang sebagai beking tentara dalam menghadapi jenderal polisi, ya biarkan saja.
Benar tidaknya beking itu tidak penting dipertanyakan. Yang lebih penting adalah KPK tetap bisa menjalankan misinya: memberantas korupsi.