Johnny Andrean cabang Karang Pakis
Mukhtamiroh mendapat pinjaman buat memulai usaha salonnya.
Azan Magrib baru saja berkumandang di pelosok Desa Karang Pakis, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Seorang perempuan berjilbab tengah asyik menatap layar komputer berukuran 17 inchi.
Tangannya sibuk mengarahkan kursor dengan tetikus ke sebuah gambar. Perempuan ini saban hari mencari model rambut terbaru untuk salon miliknya di rumah Internet Mahnetik Nusawungu dikelola oleh Tun Habibah.
Mahnetik Nusawungu menjadi pusat kegiatan buruh migran dan keluarganya untuk pelatihan, akses Internet, dan konsultasi kasus. Mahnetik juga berfungsi sebagai rumah pengetahuan bagi mantan TKI atau keluarga TKI di Cilacap.
Mukhtamiroh, 37 tahun, merupakan mantan TKI. Sepulang bekerja dari Hongkong, dia memutuskan berusaha di kampung. Dia mengaku kapok menjadi TKI lantaran tidak pernah beruntung membawa banyak fulus. "Saya sudah keliling, Malaysia, Singapura, dan Hongkong," kata Mukhtamiroh saat ditemui di kediamannya, Desa Nusawungu, Cilacap, dua pekan lalu.
Dia pertama kali bekerja pada 1998 Singapura, berlanjut ke Malaysia selama tiga tahun sejak 2000. Dua tahun kemudian, dia mencari nafkah ke Hong Kong hingga 2007. "Di Singapura hanya sepuluh bulan karena di sana cucinya direbus panci. Tangan saya pada melepuh," ujarnya.
Sejak pulang dari Hong Kong sebagai pembantu, ibu dari Dita Azizatul Khairiah, sebelas tahun, ini tak pernah berniat lagi bekerja ke luar negeri. Namun suaminya, Juwenti, 36 tahun, mencoba mencari peruntungan di Malaysia. "Ini hasil suami saya, rumah belum jadi."
Sejak kepulangan suaminya, keduanya memutuskan untuk tidak kembali lagi menjadi TKI. Apalagi Mukhtamiroh pernah diperlakukan tidak enak. Perusahaan memberangkatkan dia meminta tebusan Rp 5 juta agar ijazahnya kembali. Beruntung saat itu melalui para pengacara, dia berhasil merebut kembali ijazahnya tanpa harus mengeluarkan uang.
Nasib berkata lain setelah dia mengikuti pelatihan singkat membuka salon digelar Yayasan Tifa di daerahnya. Dia memperoleh modal awal Rp 2 juta pinjaman dari Modal awalya dia dapatkan berkat pinjaman dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama
Uang itu dia gunakan untuk membeli peralatan salon. Selanjutnya dia mendapat utangan Rp 1,5 juta dari Yayasan Tifa. Itu saya gunakan untuk membeli baju rias anak-anak," ujarnya.
Sejak saat itu, dia mulai menggeluti usahanya secara serius. Salon Dita - sesuai nama putrinya - itu dibuka di pinggir jalan tidak juah dari rumahnya. Selain usaha salon, dia juga aktif sebagai ketua Community Based Organization (CBO) Mutiara Rizki. Dia memberdayakan para bekas TKI melakukan usaha kelompok.
Saban hari, puluhan anggota CBO itu berkumpul di rumahnya untuk membuat keripik Aceh dijual ke warung-warung. Mereka juga mengelola koperasi simpan pinjam kepada anggota dengan bunga 0,7 persen. "Kalau ada kegiatan kayak gini, mimpi buat bekerja jadi TKI juga tidak akan ada lagi," kata Mukhtamiroh.