Jokowi bangkitkan harapan rakyat Papua
Presiden Jokowi menyadari inti masalah Papua. Rakyat butuh didengarkan dan diajak bicara.
Saya menelepon kawan jurnalis di Papua akhir tahun lalu. Setelah mengucapkan selamat natal dan berjanji untuk saling mendoakan, kami berbincang tentang kunjungan Presiden Jokowi ke Papua, 27-29 Desember 2014 lalu. “Kamu harus catat, kunjungan Jokowi itu penting buat kami orang Papua. Kami jadi punya harapan,” katanya.
Maka berceritalah kawan tadi:
Ah, berlebihan kalau saya mengatakan kami punya harapan. Saya yang punya harapan. Orang Papua ini macam-macam, saya tak berani mewakilinya, meskipun saya yakin, banyak orang yang punya harapan seperti saya. Harapan saja, sungguh bernilai.
Bayangkan, sejak Presiden Gus Dur diturunkan, orang Papua sudah tak punya harapan akan masa depannya bersama rakyat Indonesia. Tahu sendiri, Presiden Megawati, lebih percaya dengan suara lantang tentara daripada jeritan hati rakyat Papua.
Memang tidak gampang buat Megawati, yang pribadinya sulit didekati. Tidak sedikit tokoh Papua berhasil menghampirinya. Mereka mengklaim mewakili suara orang Papua. Padahal, sesungguhnya mengajukan urusan diri sendiri saja. Lihat saja, itu kelakuan para pejabat Papua yang lebih sering bersenang-senang di Jakarta daripada mengurus rakyatnya. Gaya hidup seperti ini sudah lama berlangsung.
Terus terang, ketika SBY terpilih jadi presiden, saya tak bernai membangun harapan. Betul dia menjanjikan otonomi khusus, dan lalu membuat undang-undang dan peraturan lainnya. Tapi, dari proses membuat undang-undang saja, saya sudah ragu, ini hanya basa basi. Sebagai tentara, SBY lebih percaya pada nalurinya: pendekatan keamanan. Apalagi dia juga dikelilingi oleh jenderal dan mantan jenderal.
Ada sih, secercah harapan disampaikan ke JK. Tapi, waktunya habis untuk mengurus ekonomi. Toh dia harus tahu diri, untuk urusan politik, menjadi kuasa SBY sepenuhnya. Makanya, kami bisa mengerti kalau JK seakan “tak peduli” dengan masalah Papua, apalagi Budiono yang memang tak punya pengalaman mengurus politik.
Saya pun bertanya: jadi apa yang membuat kamu dan orang Papua lain punya harapan, bahwa Presiden Jokowi bisa menyelesaikan masalah Papua?
Kawan saya menjawab runtut, sambil mengutip pernyataan dan janji Jokowi saat bertemu dengan orang-orang Papua beberapa hari lalu:
Pertama, Jokowi menyadari, masalah Papua bukan sekadar masalah sosial, ekonomi, dan politik, tapi juga masalah ketidakpercayaan antara rakyat Papua dengan pejabat Jakarta. Ini memang pangkal masalahnya, yakni orang Papua tidak percaya sama pejabat Jakarta, karena selain Presiden Gus Dur, yang lain hanya penipu; setidaknya janji-janji melulu. Jadi, saya bersyukur Jokowi menyadari pokok masalah ini.
Kedua, berbeda dengan pendahulunya yang selalu menjanjikan layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur; Jokowi berkomitmen untuk mendengarkan dan mengajak bicara rakyat Papua. “Sikap dasar saya adalah membicarakan setiap persoalan yang ada di Papua dengan rakyat Papua,” katanya.
Ketiga, tanpa mengabaikan laporan pejabat pusat maupun pejabat daerah yang mengurusi Papua, Jokowi bersungguh-sungguh untuk mendengarkan dan berbicara dengan rakyat Papua. Hanya Presiden Jokowi berani berjanji hendak mengunjungi Papua tiga kali setahun. “Kalau kurang dari tiga kali, coba ingatkan saya, tegur saya, ‘Pak baru dua kali’, nanti saya datang,” tegasnya di hadapan para ketua adat.
Saya menyela: lho bukannya itu baru janji-janji Jokowi?
Ini jawab kawan saya: kamu betul. Jokowi baru janji-janji. Tapi sungguh, itu sudah menumbuhkan harapan, menghidupkan kepercayaan. Mengapa? Ya, karena yang janji Jokowi. Kita sudah tahu rekornya, dia suka blusukan, dia suka jalan-jalan, dia suka menyapa rakyat, dan dia mau mendengarkan keluhan banyak orang. Itu kunci pertama untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah Jakarta.
Memang mendengarkan dan membicarakan masalah Papua dengan rakyat Papua belum cukup. Butuh tindakan nyata. Namun tindakan nyata tidak guna jika tidak dilandasi saling percaya. Karena itu, keterbukaan adalah kata kunci lain untuk bisa saling percaya.
Saya pun menukas omongannya: bagaimana bisa bicara apa adanya, mau membuka dan memetakan masalah Papua dengan benar, kalau wartawan asing saja dilarang masuk Papua, kalau wartawan lokal saja sering dibuntuti intel?
Kawan saya pun tak kalah cepat membalas: Itulah bung. Presiden Jokowi harus diyakinkan untuk membiarkan Papua sebagai wilayah terbuka buat media asing, media nasional, maupun media lokal. Sebab, media bisa membantu menguak masalah Papua, sehingga mudah dicari jalan keluarnya. Jokowi tahu itu.
Kalau selama ini tertutup atau ditutup-tutupi jika muncul masalah, itu lebih karena para pejabat ingin mendapat untung dari masalah itu. Hari gini menyelesaikan masalah dengan cara tertutup, jelas tidak mungkin. Jokowi, jangan matikan lagi harapan kami.