Jokowi harus kembalikan rel diplomasi
Mendapat sambutan antusias masyarakat internasional, Jokowi harus terus diawasi.
Banyak orang meragukan kemampuan Presiden Joko Widodo dalam menjalankan tugas negera di luar negeri. Kemampuan diplomasinya benar-benar terbatas: bahasa Inggris-nya medok Jawa, pilihan katanya lugas dan teknis, pengetahuan internasionalnya terbatas, pengalaman pergaulan dunia nyaris tidak ada.
Bandingkan dengan presiden sebelumnya, SBY. Bertahan-tahun sekolah dan bertugas di luar negeri, dunia internasional bukan barang baru, bahkan berdiplomasi sudah lama dijalankan. Perhatikanlah bahasa Inggris-nya yang fasih, pilihan katanya yang canggih, sehingga menjanjikan akan suksesnya Indonesia dalam pergaulan dunia.
Makanya, ketika Jokowi dengan rombongan kecil, meninggalkan Indonesia pada Minggu (9/11) lalu, banyak pihak yang was-was. Ini perjalanan Jokowi pertama ke luar negeri, tetapi langsung masuk pada forum paling strategis: KTT APEC Beijing 10-11 November, KTT ASEAN Myanmar, dan KTT G-20 Brisbane.
Apa mampu Jokowi memainkan peran Indonesia di tengah ketegangan negara besar: Cina, Jepang, AS, dan Rusia? Apa Jokowi tidak grogi menghadapi tokoh-tokoh yang sudah bertahun-tahun saling bertarung dan bersilat lidah mengurus dunia? Apa Jokowi dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia?
Memang dalam forum konferensi tingkat tinggi, biasanya penuh protokoler demi menjaga hubungan antarnegara. Para pemimpin negara mengikuti acara yang sudah di-setting jauh hari sebelumnya. Materi dan agenda sudah disiapkan sehingga semua proses berdiplomasi dipastikan lancar.
Namun, justru di situ letak kelemahan Jokowi. Dia adalah tipe pemimpin yang tidak suka protokoler. Spontanitas, keleluasaan bergerak, banyak mendengar keluhan dan komplain, serta tidak berjarak dengan rakyat adalah karakter kepemimpinannya. Apa karakter seperti itu tidak bikin Jokowi mati kutu dalam diplomasi tingkat tinggi?
Ternyata semua berjalan lancar. Sambutan hangat dari Presiden China Xi Jinping di Balai Agung Rakyat Cina, Minggu (9/11), menjadi awal yang baik. Hari berikutnya, Jokowi menggelar pertemuan bilateral dengan Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Cina Xi Jinping.
Empat pertemuan bilateral di tengah-tengah padatnya agenda KTT APEC tersebut menjadi perhatian dunia. Jarang terjadi empat pemimpin negara besar yang saling bersaing, memberi perhatian begitu tinggi kepada Indonesia. Tentu saja ini bukan sekadar arena basa-basi untuk berkenalan dengan presiden baru.
Lebih dari itu, mereka melihat ketajaman visi Jokowi dalam membawa negaranya dalam bergaulan dunia demi kesejahteraan rakyatnya. Watak kepemimpinan Jokowi yang terbuka dan dialogis menjadi tumpuan harapan meningkatkan kerjasama ekonomi sekaligus menjadi katalis untuk menyelesaikan problem politik internasional.
Jokowi juga berhasil menyedot perhatian APEC CEO Summit. Sekitar 500 pemimpin perusahaan terkemuka antusias menyimak presentasinya selama 15 menit. Jokowi menjelaskan fokus pembangunan pemerintahannya, yaitu konektivitas maritim: membangun 24 pelabuhan, tranportasi massal, dan pembangkit listrik 35.000 MW.
Jokowi berterus terang adanya sejumlah masalah: birokrasi perizinan, pembebasan lahan, hingga ketersediaan listrik. Tapi dia meyakinkan, hambatan-hambatan itu akan segera berakhir. Dia menunjukkan pengalaman menyelesaikan masalah pembebasan lahan yang macet bertahun-tahun. "Hanya butuh empat kali makan siang," katanya sambil menunjukkan foto dirinya bersama para pemilik lahan, yang disambut tepuk gemuruh.
Sambutan hangat dan antusias masyarakat internasional, juga diterima SBY setelah dilantik pada Oktober 2004. Namun selama 10 tahun terakhir, Indonesia seakan tidak mendapat manfaat dari pergaulan dunia, kecuali sekadar sebagai pasar. Diplomasi berubah jadi arena pencitraan diri. Banyak terlibat dan membentuk forum internasional, tetapi rakyat tidak mendapatkan apa-apa, tertutup oleh obsesi menjadi pemimpin dunia.
Jokowi harus diingatkan terus agar hal itu tidak terulang lagi.