Jokowi kembalilah ke watak asli
Reputasi Jokowi jatuh dibelit kisruh Polri vs KPK, remuk oleh isu hukuman mati.
Bulan madu politik Presiden Jokowi benar-benar singkat, dalam hitungan pekan. Sepekan setelah pelantikan, Jokowi dielu-elukan seluruh negeri, bahkan luar negeri. Namun dua pekan kemudian, banyak orang terdiam mendengar pengumuman anggota Kabinet Kerja. Sejumlah nama yang tidak layak menjadi menteri masuk kabinet.
Sebagian besar meteri bidang ekonomi dan maritim memang oke. Ini terlihat langsung dari tindakan cepat dan berani: mengurangi subsidi BBM, mengalihkan dana subsidi ke rakyat miskin, moratorium izin kapal ikan, dan menenggelamkan kapal asing ilegal. Namun beberapa menteri tampak takjub dengan pekerjaannya.
Menteri-menteri bidang kesejahteraan yang ditopang dana besar, tampak unjuk gigi ketika mengeluarkn berbagai kartu sejahtera. Tetapi ini ide asli dari Jokowi. Tak heran setelah program itu, mereka bingung. Ada yang sibuk mencitrakan diri sebagai menteri hebat, ada juga yang adem melempem tak tahu hendak berbuat apa.
Menteri-menteri bidang polkam bikin blunder, menambah ruwet masalah. Putusan Menteri Hukum dan HAM yang berbeda atas kasus yang sama (Partai Golkar dan PPP) menimbulkan bermacam spekulasi; pernyataan Menkopolhukam tentang kisruh Partai Golkar, penanganan kasus HAM dan konflik Papua, malah bikin keruh suasana.
Buruknya kinerja menteri-menteri di bidang polhukam ikut mendorong jatuhnya popularitas Jokowi saat terbelit kasus Polri vs KPK. Kasus ini berawal dari usulan Presiden Jokowi ke DPR untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Budi Gunawan adalah ajudan Presiden Megawati, yang tak lain adalah Ketua Umum PDIP.
Tiga hari kemudian KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut, lalu dibalas oleh Polri dan PDIP. Mabes Polri menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka kasus saksi palsu, sedang PDIP menjatuhkan citra Ketua KPK Abraham Samad melalui pembeberan lobi calon wakil presiden.
Selama lebih dari sebulan energi bangsa tersedot dalam drama Polri vs KPK. Lembaga-lembaga negara terlibat ketegangan: DPR, Presiden, DPD, bahkan MA. Sejumlah pimpinan partai politik melakukan berbagai manuver. Tokoh-tokoh masyarakat sipil pun bergerak menyokong gerakan anti korupsi untuk melawan upaya-upaya pelemahan KPK.
Sikap Presiden Jokowi yang tidak segera mengambil keputusan pada saat publik menilai dia bisa mengambil keputusan terbaik, seakan membenarkan kampanye negatif yang dulu disuarakan lawan-lawan politiknya: calon presiden boneka, calon presiden berwawasan sempit, calon presiden kurang pengalaman politik. Popularitas Jokowi pun jatuh lebih cepat daripada presiden-presiden baru sebelumnya.
Pada saat bersamaan, Presiden Jokowi juga dihantam oleh isu eksekusi hukuman mati. Belanda, Austarlia, dan Brasil protes keras atas (rencana) eksekusi hukuman mati yang menimpa warganya. Cara protes Australia dan Brasil benar-benar merendahkan martabat bangsa. Sikap Jokowi masih dianggap lembek oleh sebagian masyarakat.
Dengan Australia masyarakat menujukkan kemarahannya melalui gerakan uang receh untuk mengembalikan bantuan tsunami. Ini buntut dari pernyataan Perdana Menteri Tony Abbott yang minta bantuan tsunami dibarter dengan hukuman mati warganya.
Tetapi dengan Brasil, masyarakat tidak berbuat apa-apa karena hanya pemerintah yang “disakiti”. Namun pemerintah merasa puas dengan memanggil Duta Besar RI di Brasil atas tindak Presiden Brasil Dilma Roussef yang menolak menerima duta besar RI itu. Banyak pihak menuntut Presiden Jokowi bertindak lebih keras, mulai dari pembatalan pembelian pesawat militer sampai mengusir balik Duta Besar Brasil di Jakarta.
Tetapi Jokowi memang harus lebih berhati-hati, tidak terbawa emosi. Reputasinya jatuh setelah sempat dipuja-puji penampilannya di beberapa forum internasional. Berbarengan dengan belitan kasus Polri vs KPK, media internasional pun mencemooh Jokowi: gagal mengendalikan laku elit politik, sibuk menghukum mati pengecer narkoba. Sungguh jauh dari harapan warga dunia saat dia dilantik jadi presiden.
Tekanan politik bertubi-tubi dari dalam negeri maupun luar negeri dalam jangka 100 hari berkuasa, mestinya menjadi pelajaran penting buat Jokowi dalam memimpin negeri ini. Dai harus kembali kepada jati dirinya yang asli: cepat, lugas, pro rakyat. Sebab karena sifat-sifat itulah rakyat memilihnya menjadi presiden.