Kabinet tanpa Muhammadiyah dan Batak
Representasi ormas dan etnis di kabinet belum tentu klop dengan tuntutan profesionalisme.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah mengumumkan anggota kabinetnya, Minggu (26/10) lalu. Ini merupakan akhir dari ketegangan politik internal pendukung Jokowi-JK. Jelas tidak gampang memilih menteri: kursinya terbatas, yang minat tidak terbatas. Apalagi masing-masing punya beking.
Jika harga saham dan nilai rupiah yang jadi ukuran, Kabinet Kerja Jokowi-JK memang tidak mendapat respons antusias. Tetapi itu bukan berarti pasar kecewa. Memang orang-orang tertentu yang diharapkan jadi menteri tidak masuk daftar kabinet, khususnya di tim ekonomi. Namun bukan berarti mereka yang masuk berkualitas buruk.
Tidak gampang buat Jokowi dan JK untuk menyusun kabinet. Meskipun sepakat tentang kriteria bersih, berintegritas dan profesional, di antara Jokowi dan JK punya calon beda. Masih ada keinginan ketua umum partai politik koalisi. Belum lagi tuntutan publik yang dengan keras disuarakan relawan dan aktivis organisasi masyarakat sipil melalui media. Padahal Jokowi-JK juga dibebani isu keterwakilan perempuan, ormas, dan etnis.
Soal perempuan memang tidak begitu sensitif, meskipun konstitusi mengamanatkan kebijakan afirmasi buat perempuan tampil di dunia politik. Sejak Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY, perempuan menteri jauh dari kuota 30%. Protes para aktivis perempuan hanya dianggap angin lalu. Tetapi ketika kabinet Jokowi-JK mencapai angka tertinggi, yakni 23%, nyaris tak ada apresiasi dari aktivis perempuan.
Ya, sebab peningkatan jumlah saja tidak cukup. Kualitas lebih penting. Di sini memang ada satu menteri perempuan yang kontroversial: Rini Soemarno. Namanya disebut-sebut mendapat stabilo kuning dari KPK, tetapi tetap dipaksakan karena Mega menghendaki. Lalu Puan Maharani, yang masih hijau untuk jadi menteri, apalagi menteri koordinator. Yang lain oke, meski banyak yang belum tahu sepak terjang Yohana Susana Yembise.
Lain lagi soal tokoh ormas. Dalam percaturan politik nasional, sebetulnya ketika bicara representasi ormas, sesungguhnya hanya bicara wakil dari NU dan Muhammadiyah, dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia.
Begitu anggota Kabinet Kerja diumumkan, segera beredar perbincangan di media sosial: lho kok tidak ada menteri dari Muhammadiyah? Atau lebih seru lagi: baru kali ini dalam sejarah Republik Indonesia, tidak ada menteri dari unsur Muhammadiyah.
Sebelumnya, sempat beredar kabar Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin akan diangkat menjadi menteri koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan. Namun namanya mencelat di hari terakhir, diganti Puan Maharani. Disebut-sebut Nila Moeloek merupakan perwakilan Muhammadiyah. Tetapi sesungguhnya dia bukan kader.
Yang tak kalah ramai adalah perbincangan sekaligus ketidakpuasan atas tidak adanya orang Batak dalam kabinet Jokowi-JK. Lagi-lagi, perbincangan di media sosial menyatakan: ini untuk pertama kalinya orang Batak tidak masuk kabinet.
Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait disebut akan menjadi menteri komunikasi dan informasi. Bahkan menjelang pengumuman, Ara sudah mengenakan baju putih kiriman Istana. Namun rupanya namanya tidak disebut Presiden Jokowi. Konon, Megawati tidak menyetujuinya. Padahal Ara sangat dekat dengan Jokowi.
Absennya orang Muhammadiyah dan Batak di kabinet, memang menjadi tanda tanya besar. Ya karena sebelumnya tidak pernah terjadi. Wajar saja kalau kemudian bikin heboh, menimbulkan suara keras, dan muncul kekhawatiran: mereka akan boikot. Sebab mereka tidak hanya kelompok bermassa banyak, tetapi orang-orangnya juga menempati posisi-posisi strategis, di lembaga negara maupun organisasi swasta.
Namun semua pihak hendaknya menyadari, kabinet sesungguhnya bukan lembaga representasi ormas atau pun etnis. Kabinet adalah kaki tangan presiden untuk menjalankan roda pemerintahan dan merealisasi program-program yang sudah dijanjikan. Oleh karena, jika tradisi kabinet berormas dan beretnis lengkap ini tidak diputus, maka hasrat untuk membangun kabinet profesional, kabinet kerja, sulit diwujudkan.
Bukan soal tidak ada orang Muhammadiyah atau orang Batak yang berkapasitas menjadi menteri, tetapi pada soal jumlah kursi kabinet yang terbatas, dan profesionalisme yang tersedia di ormas atau etnis tersebut kebetulan tidak cocok dengan apa yang tersedia di kursi kabinet. Jadi, kali ini saja nasib tidak bagus menimpa kader Muhammadiyah dan elit Batak, tetapi kabinet akan datang akan lebih beruntung.
Berbeda dengan representasi partai yang tidak bisa diputus karena politik adalah permainan partai, representasi ormas dan etnis sebaiknya memang tidak menjadi beban siapa pun yang menjadi presiden. Sebab, yang terpenting bukan ada-tidaknya wakil ormas atau etnis tertentu di dalam kabinet, tetapi terealisasi-tidaknya janji presiden dan wakil presiden untuk menyejahterakan rakyat. Sebab jika rakyat sejahtera, pasti warga ormas atau etnis tertentu juga ikut sejahtera, karena mereka adalah bagian dari rakyat.