Kampanye tahan lama yang sebenarnya
Sebenarnya, pejabat yang mendahulukan bekerja untuk masyarakat dan tidak ikut kampanye itulah yang sejatinya kampanye.
Bulan ini adalah bulan kampanye politik. Para politisi mulai "mengiklankan" dirinya, dengan berbagai cara. Mulai dari strategi ATL (above the line) melalui media massa, dan BTL (below the line) yang turun langsung ke calon pemilih (konsumen).
Menurut terjemahan singkat wikipedia, kampanye adalah sebuah tindakan yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan. Dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam suatu kelompok. Kampanye biasa juga dilakukan guna memengaruhi, penghambatan, pembelokan pencapaian.
Sedangkan iklan kampanye (campaign advertising) adalah tindakan spesifik dirancang untuk mengiklankan sebuah aktivitas politik dengan mempekerjakan sekelompok profesional umumnya terdiri dari konsultan kampanye atau staf kampanye yang dilakukan, disengaja, dikoordinasikan secara hati-hati dan kemudian dipublikasikan dalam rangkaian alat publikasi seperti penggunaan media yang dibayar (surat kabar, radio, televisi, dan lain lain) agar dapat menjangkau target audiens yang berdampak memberikan pengaruh terhadap hasil keputusan publik.
Loh kok Inspira bicara politik lagi? Sesekali boleh lah. Mumpung lagi ramai politik, dan mulai tanggal 16 Maret 2014 dimana para Caleg (calon legislatif) melakukan kampanye. Karena kampanye itu judulnya memengaruhi orang, maka tak ubahnya seperti Anda merayu. Dengan segala cara dilakukan. Mulai dari tindakan halus, merajuk, berkata-kata manis, jujur, atau bahkan kalau perlu tidak jujur (bisa jadi bohong).
Nah, masalahnya, apakah kita mudah dirayu dan mau dibohongi? Semua terserah Anda, gampang dirayu atau tidak. Apakah janji atau ucapan yang disampaikan itu meresap dan memberikan makna pada diri Anda dan keluarga atau tidak. Juga apakah Anda termasuk rasional atau emosional. Biasanya, orang rasional tidak mudah dirayu. Karena selalu mengkalkulasi informasi yang diterimanya, diproses filter dulu, kemudian baru diimplementasikan dalam keputusan yang rasional.
Kalaupun kita karena emosional akhirnya terpengaruh, dan kemudian faktanya ternyata tidak sesuai yang dikampanyekan (diiklankan), pasti akan kecewa. Banyak kekecewaan itu karena setelah mengetahui hasilnya dari sisi kualitas, rasa, makna, dll, ternyata tidak sesuai harapan.
Tak aneh bila banyak juga perusahaan atau orang yang sudah melakukan kampanye bermiliar-miliar, ternyata hasilnya tidak maksimal atau bahkan nol atau minus (rugi). Meski mereka merasa sudah menguasai media sekalipun (ATL). Mereka ini orang yang hanya berpikir terbatas, bahwa dikira kampanye berhasil itu adalah orang mau membeli atau memilih saat itu saja. Tapi yang lebih berhasil adalah kalau mereka mau membeli lagi, memilih lagi, dan kemudian menyampaikan (mempengaruhi) ke orang lain lagi tanpa disuruh, kecuali karena nurani.
Artinya, pada akhirnya, kualitas konten (produk) dari yang dikampanyekan adalah segalanya. Tak cukup itu, selain kualitas produk (konten/pesan), juga kualitas yang bersangkutan (kepribadiannya), dalam tindak-tanduknya apakah sesuai dengan yang disampaikan. Artinya, kemasan dan isinya, ucapan dan kelakuan, jasmani dan rohani itu saling terkait. Keduanya tidak bisa dilepaskan karena saling berhubungan satu sama lain, dan diperhatikan oleh publik.
Barangkali tokoh seperti Soekarno, Hatta, Buya Hamka, Hoegeng, atau Baharudin Lopa, dan lain-lain, mungkin pernah "kampanye". Namun, kampanye yang dilakukan tidak hanya bermakna cuma sebulan untuk mempengaruhi orang nyoblos belaka. Tapi secara tak langsung, karena pesan-pesannya justru sangat bernilai dan berkualitas, dan terdokumentasi dengan baik dan banyak, sehingga hasil kampanyenya malah berusia panjang. Dan, menjadi legacy sehingga orang membicarakan, menyebarkannya. Seperti halnya produk yang berkualitas, tanpa harus mengeluarkan biaya besar, kalau memang orang mengakui kualitasnya, maka akan disukai dan bertahan lama. Karena produknya bermakna. Secara tak langsung ini seperti kampanye jangka panjang yang bertahan lama.
Sampai saat ini orang masih membicarakan dan mendiskusikan nilai-nilai ajaran Soekarno dan Hatta. Begitu juga Buya Hamka masih dikenang karakter dan independensinya orang umat muslim saat menjadi Ketua MUI hingga sudah tidak menjabat dan almarhum. Kepolisian Indonesia begitu mengagungkan Hoegeng meski sudah wafat 11 tahun silam. Di kalangan hukum, nama almarhum Baharudin Lopa terkenang kuat sebagai sosok bersih dan tegas yang belum ketemu gantinya. Mereka mungkin telah pergi selamanya, tapi pesannya hidup selamanya.
Saat ini, para caleg-caleg melakukan aksi kampanye. Dalam waktu tiga minggu yang diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mereka akan memanfaatkan. Bila hanya pada hari-hari ini mereka melakukan kebaikan dalam rangka merayu rakyat, saya tidak yakin itu bermakna panjang. Bagi rakyat yang rasional, tanpa kedekatan emosional, misalnya karena cantik/ganteng, sodara, teman, uang dan lain-lain, akan berpikir berkali-kali untuk sedia kemakan rayuan caleg. Kinerja dan penampilan beberapa anggota DPR/DPRD atau orang partai selama 5 tahun kemarin, sebenarnya juga adalah kampanye. Kalau mereka tidak menarik, bagaimana bisa meyakinkan bahwa nanti akan lebih baik?
Yang kampanye hari-hari ini bukan saja caleg yang masih calo pemimpin, tapi pimpinan-pimpinan negeri. Saat ini, berita yang sedang hangat adalah, bahwa para menteri sudah rame-rame mengajukan cuti ke presiden untuk keperluan kampanye. Bahkan Presiden pun sudah akan cuti untuk kampanye demi partainya. Seolah bukti mereka mendahulukan partai/kelompok ketimbang posisinya sebagai pejabat publik yang dibayar rakyat lewat pajak-pajaknya. Namun demikian ada beberapa pejabat yang menyatakan tidak ikut kampanye kecuali hari libur. Dengan alasan, karena harus bekerja untuk rakyat pada hari kerja.
Sebenarnya, justru pejabat yang lebih mendahulukan bekerja untuk masyarakat dan tidak ikut kampanye itulah yang sejatinya (secara langsung atau tidak) telah melakukan "kampanye" positif. Karena pejabat seperti inilah yang sadar bahwa dirinya dibayar untuk mengabdi ke rakyat, bukan sekadar mengabdi kelompok atau golongannya saja. Bagaimana dengan pendapat Anda?