Kasar, gak berbahasa baik, perusak etika, itulah Ahok
Bima, Gubernur Jodipati, juga ber-Ahok: gak pernah berbahasa halus kepada siapapun, termasuk Dewa.
Ganjil, sebab Bratasena alias Bima, Gubernur Jodipati, juga ber-Ahok: gak pernah berbahasa halus kepada siapapun, termasuk Dewa –kecuali Dewa Ruci. Bima bertubuh besar, beroman muka cemberut, sangar, bermata membelalak, hidung dempak, brengosan, brewokan dan berambut terurai. Bima gak pernah dusta, kekasaran bahasanya sarat kebijaksanaan dan kesucian jiwanya.
Maka wajar, Bima jadi panutan. Dalam setiap lakon Pandawa yang dipentaskan lintas usia, Bima boleh mejeng tanpa dikuatirkan merusak etika. Sayangnya, biar ke-Bima- Bima-an, Ahok itu Cina, kafir dan non-muslim, meski konstitusi Republik Nuswantoro non-diskriminatif.
Tapi dari sudut pawukon bebas SARA, perkara inipun aneh. Keppres No.125 Tahun 1950, 24/3/1950, Jumat Legi, berwuku Mahanil, mengibukotakan Jakarta. Persis wuku Republik Nuswantoro proklamasian 17/8/1945, juga Jumat Legi, berwatak pemalas, jorok, sering ketipu, nafkahnya bagus dan baik buat membikin bendungan atau membuka kuburan.
Jakarta jorok bukan rahasia. Bagusnya nafkah Jakarta akhirnya mengubur birahi bertangan panjang sebagian petingginya. Pantes, jika Jakarta dikibuli membeli lahannya sendiri.
Kekasaran Ahok adalah akibat suratan wuku Landhep, maujudan 29/6/1966, Rabu Pahing, banyak musuhnya, kalau tersinggung marahnya menakutkan, perintahnya lembut di depan panas di belakang, baik buat mengasah pedang, membuat pagar dan wiyasa ikan. Pasangan
Rabunya Ahok dengan Jumatnya Jakarta mengibukota menghasilkan tentrem. Watak baik untuk membikin bendungannya Jakarta itu pas dengan watak baik membuat pagar dan wiyasa ikannya Ahok. Barangkali gak kompatibel adalah reklamasi.
Lewat pawukon, Fadli Zon contohnya, bisa dipahami. Berwatak pencemburu, suka mengganggu orang lain dan gak bisa dijadikan tempat berlindung merupakan produk wuku Tambir, kelahiran 1/6/1971, Selasa Kliwon. Berakibat perceraian kalau menjodohi Jumatnya Republik Nuswantoro. Sumber ketak-Warasan hubungan termanifestasikan misalnya dalam 100 Dolar, yang sebenarnya pas banget buat ngongkosin slametan agar terbebas dari kutukan pawukon.
Terbilang sial adalah para pesaing Ahok. Ahmad Dhani, anno 26/5/1972 itu Jumat Kliwon, berwuku Sungsang. Juga Jumat Kliwon adalah Haji Lulung, brojolan 24/7/1959, berwuku Watu Gungung. Adhyaksa Dault, muncul 7/6/1963, Jumat Wage, berwuku Wuye. Jika Jumat ketiganya
bersejolian dengan Jumatnya Jakarta mengibukota, maka hasilnya melarat—paling tidak, oleh bisnis parkiran. Sama apesnya Sandiago Uno, jebolan 28/6/1969, Sabtu Pahing, berwuku Warigagung. Sabtu ketemu Jumat hasilnya celaka.
Yusril bagusan. Maujudan 5/2/1956, Minggu Kliwon, berwuku Watu Gunung, membuahkan tentrem njodohin Jumatnya Jakarta mengibukota. Cuma, gara-gara berwatak lihai ngobral bicara, bernada nasehat, ambisius kejatuhan bulan, cita-citanya kerap dibulan-bulanin gak kesampaian. Maka bisik pawukon, berbintang terangnya jika menjalani hidup sebagai pendeta.
Samaan wuku dan wataknya Ahok dan sesuaianya Jakarta itu Risma, alumni 20/11/1961, Senin Kliwon. Bila berpasangan dengan Jumat mengibukotanya Jakarta, produknya elok dan bagus.
Biarpun para pesaing Ahok apes, tapi pawukon gak mempersoalkan etika, erotika, SARA dan sarap pencaguban mereka, asal sudi memenuhi persyaratan yang gampang banget. Yaitu: slametan.
Di luar itu, perkara Ahok telah mengaburkan per-kangouw- an politik nasional dan daerah –meski otda, fadlizonan DPR melumpuhkan DPRD; dan meski hendak memperkuat sistem kepartaian, cagub tokh bukan porsinya partai daerah.