Ketika polisi mempersonifikasi negara
Jangan mimpi ada kepastian tindakan terhadap Obor Rakyat. Tunggu presiden terpilih.
Tugas pokok negara adalah keamanan. Sebab negara dibentuk untuk melindungi warganya dari serangan musuh maupun pertikaian antarwarga. Untuk itu negara membentuk pasukan tentara dan barisan polisi. Yang pertama bertugas menghadapi serbuan eksternal, yang kedua bertugas memadamkan pertikaian internal.
Itulah sebabnya, demi menciptakan keamanan dan ketertiban bagi warganya, negara diberi wewenang menggunakan kekerasan dengan mengerahkan pasukan tentara dan barisan polisi. Sebab tentara dan polisi adalah alat negara. Sebagai alat negara mereka harus menjalankan perintah negara.
Yang jadi masalah adalah siapa negara itu? Bagaimana penampilan negara? Apakah negara selalu konsisten melindungi warganya? Benarkah negara menggunakan kekerasan semata-mata demi menjaga keamanan dan ketertiban? Lalu apa yang dimaksud dengan keamanan dan ketertiban? Aman dan tertib buat siapa?
Dalam kehidupan sehari-hari, negara yang abstrak mewujud dalam bentuk pemerintah. Pemerintah sendiri sebetulnya adalah kumpulan orang, dengan hirarki jelas: ada atasan, ada bawahan. Maka tidak heran jika negara kemudian dipersonifikasi menjadi presiden atau perdana menteri. Di sinilah tentara dan polisi masuk dalam wilayah kritis.
Oleh karena itu di tengah hingar bingar kampanye pemilu presiden, kita perlu memberi perhatian sejenak pada polisi. Ya, kebetulan puncak hingar bingar kampanye presiden ini bertepatan dengan peringatan hari jadi polisi. Tetapi justru di situ, kita akan lebih jelas melihat perilaku polisi, cukup mengarahkan fokus kepada pimpinannya.
Perhatikan saja pernyataan dan tindakan Kapolri Jenderal Sutarman. Bukankah dia bimbang dan ragu dalam menangani kasus tabloid Obor Rakyat? Banyak orang bilang, dia sengaja mengulur-ulur waktu.
Sebagai pemegang komando kepolisian, Sutarman bisa mengatasnamakan keamanan dan ketertiban, untuk tidak menahan pengelola tabloid tersebut. Coba bayangkan, tiba-tiba banyak orang yang marah dan ngamuk; situasi bisa kacau tak terkendali. Sebab, pengelola tabloid itu dianggap pembawa kebenaran bagi sekelompok orang.
Sutarman juga bisa menyatakan, demi keadilan dan kepastian hukum, penyelidikan harus berjalan pelan. Jangankan berpikir segera jadi tersangka, pada tahap penyelidikan saja, polisi belum mendapatkan bukti-bukti. Jadi, kalau penyelidikan belum melangkah ke penyidikan, ya sabar saja. Karena yang dibutuhkan bukti, bukan opini.
Namun, dalih sekadar dalih. Yang sesungguhnya terjadi adalah Sutarman berada dalam situasi dilematis: jika pengelola Tabloid Obar Rakyat ditindak, dan calon presiden yang dibela tabloid tersebut menang, apa jadinya? Tetapi jika pengelola Tabloid Obor Rakyat tidak ditindak dan calon presiden yang dicela tabloid tersebut menang, apa jadinya pula?
Itulah yang membuat kepala polisi itu bimbang dan ragu. Nah, daripada bertindak salah, maka lebih baik diambangkan.
Begitulah akibatnya jika polisi mempersonifikasi negara menjadi presiden: ketika presiden belum ada kepastian siapa orangnya, negara tidak ada; karena negara tidak ada urusan keamanan dan ketertiban juga tidak ada; karena ketertiban tidak ada maka penegakan hukum juga tidak ada.
Maka soal jadi tidaknya pengelola Obor Rakyat ditindak, ya tergantung siapa yang terpilih menjadi presiden nanti. Dalam hal ini, Jenderal Sutarman sedang mempertaruhkan jabatan karena sesungguhnya dia tidak tahu, siapa yang akan jadi presiden.