Kompetisi Jokowi dan JK, untuk apa
Semakin hari semakin tampak, JK berani melawan Jokowi. Pergulatan kepentingan saja.
Ketika memimpin DKI Jakarta, antara Gubernur Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok, terdapat beberapa kali beda pendapat. Mulai dari soal pembangunan monorel, penggusuran, hingga penunjukan pejabat pemerintah daerah. Tetapi keduanya masih dalam harmoni, karena Ahok menyadari sepenuhnya, dirinya hanya wakil.
Menurut Ahok, gubernur yang punya wewenang mengatur dan menggerakkan pemerintahan. Gubernur yang dipercaya rakyat untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Karena itu, Ahok tidak pernah berpanjang-panjang meneruskan perbedaan pendapatnya. "Nanti saja kalau saya jadi gubernur," katanya bercanda.
Ketika menjadi wakil presidennya SBY, JK beberapa kali berbeda pendapat dengan SBY atas suatu masalah yang sedang jadi perhatian publik. Biasanya, JK melontarkan pendapatnya terlebih dahulu, lalu dikoreksi SBY. JK pun mengikuti maunya SBY. Setidaknya, di hadapan publik, JK menunjukkan ketaatannya pada SBY.
Seperti terjadi pada awal kekuasaan, 2004, saat muncul perdebatan soal pengurangan subsidi BBM. JK tegas-tegas memilih jalan cepat: sesuaikan BBM dengan harga pasar dengan sekali putus. Namun SBY mengingatkan agar lebih berhati-hati dalam mewacanakan kebijakan. JK pun berhenti bicara, lalu mengikuti jalan SBY: menunda pengurangan subsidi BBM, lalu mengurangi subsidi secara bertahap.
Nah, kini JK jadi wakil presidennya Jokowi. Tentu saja, beda suasana dan beda orang yang diwakilinya. Bisa dipahami jika cara mengatasi perbedaan pendapat, juga berbeda. Namun perbedaan pandangan dan sikap antara Jokowi dan JK mulai mengganggu nalar publik dan mengkhawatirkan: jangan-jangan ada dua nakhoda dalam republik ini.
Nalar publik terganggu, karena perbedaan semakin sering dan berkepanjangan. Yang terakhir misalnya, Presiden Jokowi tegas-tegas menyatakan, tidak perlu revisi UU KPK. Namun, JK masih saja bicara, UU KPK perlu direvisi. Katanya, konstitusi saja bisa direvisi, apalagi undang-undang. Yang tidak bisa direvisi hanya Alquran dan Injil.
Sebelumnya, perbedaan Jokowi dan JK sempat bikin pusing Menpora Nahrawi. Bagaimana tidak, saat memberi peringatan kepada PSSI, Nahrawi malah diingatkan JK agar PSSI dibebaskan mengurus sepak bola. Ketika PSSI mengabaikan permintaan Menpora, lalu Menpora membekukan PSSI, JK memanggil Nahrawi dan minta pembekuan dibatalkan. Sebaliknya, Jokowi berkeras mendukung Nahrawi. Bahkan, ketika FIFA melarang PSSI tampil di kancah internasional, Jokowi tidak peduli.
Jika mau ditarik ke belakang, perbedaan pandangan dan sikap Jokowi dengan JK, mencuat saat muncul kontroversi pencalonan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri. Jokowi yang telanjur mengajukan pencalonan BG, karena ditetapkan jadi tersangka oleh KPK, ragu-ragu untuk meneruskan pencalonannya. Sebaliknya, JK tampak bersiteguh, BG harus segara dilantik karena sudah mendapat persetujuan DPR. Bersama-sama Megawati, Surya Paloh, dan elite partai politik lainnya, JK terus menekan Jokowi. Namun Jokowi mengambil jalan beda: membatalkan pelantikan BG.
Sejak kisruh pencalonan BG tersebut, sebetulnya mulai jelas terlihat, JK sering tidak sejalan dengan Jokowi. Hal ini tidak saja tampak dari bagaimana cara mengelola Blok Mahakam yang kontrak dengan Total akan habis pada 2017 nanti, tetapi juga muncul perbedaan pilihan pejabat eselon satu yang diusulkan kementerian.
Mengapa sejak dilantik pada Oktober 2014 lalu hingga kini semakin sering tampak berbedaan pandangan dan sikap atas suatu masalah antara Jokowi dan JK? Mengapa semakin hari semakin terlihat JK berani melawan Jokowi? Apakah ini pertanda JK memang tidak cocok jadi wakil Jokowi, atau JK tidak ingin sekadar jadi ban serep Jokowi? Ataukah memang ada perbedaan prinsip dan kepentingan antara keduanya?
Terlepas dari partai politik yang mendukungnya, jika dilihat dari platform politik, semestinya tidak ada perbedaan antara Jokowi dan JK. Visi misi dan program mereka sama: Nawa Cita. Platform politik itu tidak hanya dibikin oleh tim Jokowi dan PDIP-nya, tetapi juga oleh tim kampanye Jokowi-JK. Tidak pernah ada nada keberatan dari JK dan orang-orangnya atas dokumen Nawa Cita.
Bahkan ketika banyak pihak mempertanyakan penerjemahan Nawa Cita ke dalam program pembangunan jangka menengah dan panjang, baik Jokowi maupun JK sama-sama tidak merespon. Mereka seakan cukup melihat menteri terkait sibuk meluruskan dan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Toh partai politik dan relawan Jokowi-JK tidak banyak cincong.
Jika perbedaan pandangan dan sikap, bukan bersumber dari implementasi platform politik, platform, apalagi “ideologi”, maka tidak salah bila banyak orang menyimpulkan, bahwa sumber utama perbedaan antara meraka adalah kepentingan. Jika benar kesimpulan itu, kepentingan macam apa yang tengah mereka perjuangkan.
Dalam hal ini pertanyaan lebih kritis harus ditujukan kepada JK mengingat posisinya sebagai wakil: JK sedang memperjuangkan kepentingan apa sehingga sampai harus sering tampak berani melawan Jokowi. Sepertinya JK sedang tidak memupuk kepentingan politik mengingat usianya tidak memungkinkan lagi menjadi calon presiden. Jika tidak ada kepentingan politik, lalu kepentingan apa?