Konvensi Demokrat vs Jokowi dan Prabowo
Konvensi Demokrat takkan menghasilkan figur tangguh menghadapi Jokowi dan Prabowo. Bagaimana operasi senyap?
Sejak dilontarkan SBY beberapa bulan lalu hingga usaha komite konvensi mengumpulkan calon presiden dalam dua pekan belakangan, konvensi Partai Demokrat medapat liputan ramai media massa. Terjadi prokontra, muncul apresiasi dan sinisme. Bahwa ada pengkritik konvensi yang kemudian mau jadi anggota komite, menunjukkan betapa gagasan SBY ini bernilai politik tinggi.
Meskipun SBY dan pengurus Demokrat berulang kali menjelaskan, bahwa tujuan konvensi tidak lain hanya untuk menjaring calon presiden terbaik, namun para elit partai politik lain tetap menuduh: konvensi adalah pencitraan semata! Tuduhan itu sebetulnya bentuk lain dari kekhawatiran atas kemungkinan hasil kreativitas politik Demokrat.
Namun melihat hasil survei Kompas yang dilansir Senin (26/8) dan Selasa (27/8) ini, kekhawatiran itu tidak perlu berlanjut. Survei itu menunjukkan, sejak Desember 2012 hingga Juni 2013, elektabilitas Demokrat tidak naik signifikan, hanya 0,8 persen, yakni dari 9,3 menjadi 10,1 persen. Padahal pada masa itu berita konvensi sudah membahana.
Hasil survei seakan membenarkan pendapat, bahwa politik pencitraan sudah berakhir, setidaknya bagi SBY dan Demokrat. Berbagai kasus korupsi yang melibatkan elit Demokrat, menjadi perangkap mematikan politik pencitraan. Ditambah kinerja ekonomi pemerintahan SBY-Boediono yang biasa-biasa saja (padahal stabilitas politik mantab), membuat masyarakat mulai kehilangan kepercayaan.
Situasinya bertambah sulit ke depan, karena tanda-tanda kesulitan ekonomi semakin terasa. Pembagian BLSM takkan mereda kerisauan banyak orang atas naiknya harga akibat ekonomi salah kelola dan hantaman rupiah. Jika skandal korupsi SKK Migas sampai menyeret Menteri ESDM Jero Wacik, maka konvensi dan upaya keras lain, tetap akan sulit untuk mendongkrak suara Demokrat pada Pemilu 2014.
Situasi itu berbeda dengan yang dialami PDIP dan Partai Gerindra, dua partai yang berada di luar lingkaran kekuasaan SBY. Hasil survei Kompas menunjukkan, elektabilitas kedua partai itu meningkat signifikan, masing-masing 10,3 persen dan 6,9 persen.
Pada Desember 2012 elektabilitas PDIP 13,3 persen, dan enam bulan kemudian menjadi 23,6 persen. Sementara dalam waktu yang sama elektabilitas Gerindra naik dari 6,7 persen menjadi 14,6 persen. Dua partai itu mengalami peningkatan terbesar karena elektabilitas partai lain cenderung kecil, stagnan, atau malah turun.
Tidak bisa dipungkiri, peningkatan elektabilitas PDIP dan Gerindra tersebut dikerek oleh Joko Widodo dan Prabowo Subianto, yang masing-masing menjadi calon presiden pilihan paling favorit. Hasil survei menunjukkan elektibilitas Jokowi naik dari 17,7 persen menjadi 32,5 persen, sedangkan Prabowo naik dari 13,3 persen menjadi 15,1 persen. Calon lain, seperti Megawati dan Jusuf Kalla, cenderung turun. Aburizal Bakrie memang naik 2,9 persen, tetapi elektabiltasnya masih rendah, yakni 8,8 persen.
Hasil ini tentu saja takkan membuat PDIP dan Jokowi serta Gerindra dan Prabowo bertepuk dada. Selain karena pemilu legislatif dan pemilu presiden masih 10 bulan ke depan, hasil konvensi Demokrat bisa saja mengubah peta politik ke depan.
Sejauh ini memang peserta konvensi Demokrat, popularitas dan elektabilitasnya masih jauh dari Jokowi dan Prabowo. Padahal dalam survei terakhir, jumlah orang-orang yang belum punya pilihan tinggal 12,9 persen. Jadi sulit rasanya konvensi Demokrat menghasilkan figur tangguh untuk menghadapi Jokowi dan Prabowo, apalagi mampu membangkitkan keterpurukan Demokrat.
Hanya saja, para pesaing harus tetap hati-hati. Jangan-jangan “operasi senyap” yang dilakukan Demokrat dan SBY pada Pemilu 2009 masih punya taji dalam Pemilu 2014.