Lebih baik berikan satu ampul injeksi yang membuat predator mati
"Berikan satu ampul injeksi yang membuat predator mati," ujar Reza Indragiri.
Para wanita itu berkumpul di sebuah restoran Kompleks Metropolitan Megaria bukan untuk menikmati enak semangkuk soto, Kamis kemarin. Mereka berkumpul untuk menyuarakan hal sama: pemerintah segera mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kejadian menimpa Yuyun, menurut mereka merupakan potret tragis wanita Indonesia yang rentan dilukai, dilecehkan secara psikologis dan seksual, hingga dibunuh secara keji oleh napsu laki-laki.
Kejadian Yuyun ibarat fenomena gunung es. Beberapa hari terakhir media massa ramai memberitakan pemerkosaan. Korbannya wanita, dan malah tragisnya para korban berusia balita. Benarkah Indonesia darurat kejahatan seksual? Sungguh kah Indonesia sudah tidak aman lagi karena banyak terjadi kejahatan seksual?.
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, meminta pemerintah perlu mencabut status kejahatan seksual sebagai kejahatan luar biasa. Alasannya, kata Reza, status itu secara langsung menunjuk pada ketidakmampuan Indonesia untuk melahirkan rasa aman bagi wanita dan gagal melindungi anak-anak dari kejahatan seksual. Menurut dia, yang paling perlu dilakukan untuk memberantas kejahatan seksual menghantui wanita dari berbagai umur ini adalah dengan berikan satu ampul injeksi yang membuat predator mati.
"Daripada menyuntik predator berulang kali sebatas untuk mematikan berahi, lebih baik berikan satu ampul injeksi yang membuat predator mati. Itu sanksi pidana maksimalnya," ujar Reza saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis kemarin.
Berikut petikan lengkap wawancara Reza Indragiri Amriel.
Berangkat dari kasus Yuyun dan para korban lainnya, apakah Indonesia sudah tidak aman lagi dari kejahatan seksual?
Itulah bumerang penetapan status darurat kejahatan seksual. Menyebut Indonesia tengah berada dalam situasi darurat kejahatan seksual terhadap anak, secara tidak langsung akan terdengar sebagai sebuah pengumuman bahwa Indonesia adalah negara yang tidak aman serta telah gagal melindungi anak-anak.
Anda kurang setuju dengan status itu, lalu apa yang harus dibenahi?
Pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku dewasa. Masukan itu bersama poin-poin lain dalam revisi UU dan aturan-aturan turunannya.
Bagaimana dengan hukuman tambahan semisal pengebirian bagi pelaku?
Ada kekeliruan asumsi yang melatari rencana tersebut, yakni kejahatan seksual berarti perilaku seksual dipercaya niscaya dilatari motif seksual. Faktanya, dalam banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak, motif pelaku ialah dominansi dan kontrol. Di balik itu ada amarah, dendam, kebencian yang berkobar-kobar. Datangnya luapan perasaan negatif itu berasal dari, antara lain, kesakitan yang muncul karena si predator pernah mengalami perlakuan kekerasan serupa semasa usia belia. Tindakan mem-viktimisasi anak-anak, dengan demikian, dapat dipahami sebagai cara si predator melampiaskan dendamnya. Anak-anak, selaku target lunak, merupakan pihak yang paling mudah dijadikan sebagai sasaran pengganti ekspresi sakit hati sang predator. Kebiri kimiawi anggaplah mematikan syahwat seksual.
Namun, segala perasaan negatif tadi tidak serta-merta juga padam. Justru kastrasi (pengebirian) hormonal bisa membuat si predator semakin eksplosif karena obsesinya pada dominansi telah dihalang-halangi bahkan ia telah direndahkan ke posisi pecundang. Sebagai kompensasi atas 'kekalahan' tersebut, si predator akan mengembangkan modus-modus baru atau pun melibatkan pihak lain guna memastikan dendamnya tetap bisa diekspresikan dan hasrat dominansi tetap bisa terpenuhi. Akibatnya, dulu si predator hanya mengincar anak-anak selaku target paling potensial.
Namun dengan amarah berlipat ganda akibat dikebiri, ia kini akan bisa menyasar siapa pun, tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa atau pun objek non manusia, sebagai sasaran agresinya. Ini semakin kentara pada paedofil mysoped, yaitu predator seksual yang biasa menggunakan cara-cara brutal untuk melumpuhkan korbannya. Bangkitnya seksual juga tidak sebatas karena faktor hormonal, tetapi juga masalah fantasi. Itu yang membuat (maaf), sebatas ilustrasi seorang anak yang belum memasuki usia pubertas pun tetap bisa menunjukkan respons fisik pada alat vitalnya manakala terangsang secara seksual setelah membaca materi-materi pornografi. Agar dorongan seksualnya tetap lumpuh, sebagaimana akseptor keluarga berencana yang menggunakan metode suntik, predator juga harus diinjeksi secara berkala.
Jadi apa yang perlu dirapikan menurut Anda dalam hal ini?
Persoalannya, siapakah yang sudi jika sekian persen anggaran negara malah dialokasikan untuk 'merawat' secara teratur makhluk-makhluk laknat yang telah memangsa anak-anak? Juga jangan anggap bahwa suntik hormonal dalam rangka mematikan nafsu seksual predator akan bebas dari efek samping, baik fisik maupun psikis. Ketika efek samping itu muncul dan si predator merasa perlu berobat, secara prosedural ia akan mengunjungi puskesmas, dokter umum di rumah sakit, lalu dokter spesialis di rumah sakit.
Sumber pembiayaan si predator berasal dari kartu Indonesia sehat (KIS). Sebangun dengan pemikiran pada poin di atas, sampai hati kah pemerintah membiarkan KIS-nya digunakan penjahat-penjahat seksual? Jadi, kebiri kimiawi tidak hanya tidak efektif jika ditujukan untuk menimbulkan efek jera, tetapi malah membahayakan sekaligus merugikan. Atas dasar itulah, pemberatan hukuman yang sudah sepantasnya dijatuhkan ke para makhluk durjana tersebut menggabungkan sanksi pidana dan sanksi sosial. Daripada menyuntik predator berulang kali sebatas untuk mematikan berahi, lebih baik berikan satu ampul injeksi yang membuat predator mati. Itu sanksi pidana maksimalnya.
Anda menjelaskan kejahatan seksual sebenarnya datang karena afeksi manusia yang tak terkontrol, lalu bagaimana dalam kasus misalnya, pelaku dulunya adalah korban?
Kalau sudah disuntik mati, pelaku lebih dari sekedar jera (tertawa). Tetapi (kejadian seperti itu) pertama, penyaluran dendam. Kedua, sexualization of behavior (perilaku menjadi serba ngeseks).