Melawan Ahok dengan akal sehat
PDIP dan partai lain masih punya banyak waktu dan amunisi untuk menandingi Ahok.
Ahok memang sulit ditandingi oleh calon-calon lain dalam perebutan suara Pilkada ibu kota nanti. Itulah yang terbaca dari survei elektabilitas yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei enam bulan belakangan ini. Kuatnya Ahok juga tercermin dari perbincangan di media sosial dan pilihan berita media konvensional.
Kenyataan ini membuat beberapa tokoh PDIP tidak kuasa menahan amarah ketika laki-laki bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu mengambil jalur independen atau perseorangan (dalam bahasa undang-undang) dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Menurut Ketua DPRD DKI Jakarta yang juga Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, apa yang dilakukan Ahok merupakan deparpolisasi, atau pengurangan peran partai. "Deparpolisasi merugikan parpol. Bukan hanya PDIP yang akan terkena imbasnya, semua Parpol juga bisa tergerus deparpolisasi," kata Prasetyo Edi.
Bisa dipahami jika kader PDIP DKI Jakarta marah besar. Mereka merasa dikhianati. Pasangan Jokowi-Ahok diajukan oleh PDIP dan Partai Gerindra dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Laki-laki kelahiran Belitung itu jadi gubernur menggantikan Jokowi yang dilantik menjadi presiden. Ahok juga yang minta kader PDIP Djarot Syaiful Hidayat untuk menjadi wakilnya. Padahal saat itu PDIP DKI Jakarta punya calon lain.
Tetapi kemarahan kader PDIP DKI Jakarta tersebut menjadi blunder. Maksud hati membela partai dan ketua umumnya (mengingat selama ini Megawati selalu menunjukkan keakrabannya dengan Ahok), yang terjadi justru sebaliknya. Komentar-komentar itu tidak hanya menunjukkan ketidakdewasaan PDIP DKI Jakarta, tetapi juga kepanikannya dalam menghadapi Pilkada.
Karena itu, DPP PDIP pun mengirim instruksi agar para kader tidak sembarangan berbicara di media atas putusan Ahok memilih jalur perseorangan. Instruksi itu jelas ditaati. Tetapi kepanikan PDIP DKI Jakarta sudah telanjur diketahui, meskipun PDIP menegaskan bahwa pernyataan Prasetyo itu adalah penilaian pribadi.
DPP PDIP sadar betul, kemarahan kader PDIP DKI Jakarta atas pilihan Ahok bisa berdampak terhadap citra dan kinerja partai. Makanya, ketika beberapa partai mengusulkan untuk memperberat persyaratan calon perseorangan, Tjahjo Kumolo langsung menolak. Memang Tjahjo berbicara dalam kapasitas sebagai Menteri Dalam Negeri. Tetapi pernyataan ini juga mencerminkan sikap DPP PDIP yang lebih hati-hati.
PDIP memang tidak perlu panik menghadapi manuver Ahok. Marah karena merasa dikhianati boleh saja, tetapi pengungkapannya ke publik harus cerdas. Ada beberapa hal yang mestinya membuat kader-kader PDIP bisa bersikap rasional.
Pertama, hari H Pilkada akan jatuh pada Februari 2017. Ini berarti masih ada waktu sebelas bulan untuk melakukan banyak hal dalam mengubah peta persaingan. Bandingkan dengan waktu mepet Jokowi-Ahok yang maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu. Harus diingat, saat itu Jokowi-Ahok sesungguhnya juga bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan petahana Fauzi Wibowo.
Kedua, jika belajar dari sejarah Pemilu di DKI Jakarta, hasilnya selalu berbeda-beda. Tidak pernah pemenang Pemilu sebelumnya bertahan. Dalam pemilu legislatif tercatat: PDIP menang Pemilu 1999, lalu Pemilu 2004 PKS meraih suara terbanyak, pada Pemilu 2009 pemenangnya adalah Partai Demokrat, dan pada Pemilu 2014 PDIP berjaya.
Memang kecenderungan pemenang berbeda dalam setiap Pemilu itu belum terlihat dalam Pilkada karena Pilkada baru berlangsung dua kali. Namun dari yang dua kali itu menunjukkan petahana yang dianggap kuat (Fauzi Bowo) ternyata kalah juga.
Ketiga, yang harus diingat kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lebih karena Jokowinya. Saat itu Ahok diajukan Partai Gerindra dengan pertimbangan untuk membalik persepsi masyarakat yang menganggap Prabowo anti-China. Rupanya dalam perjalanan Ahok juga berpisah dengan Partai Gerindra dan Prabowo.
Jika saat ini Ahok dicintai warga Jakarta tentu karena kinerjanya dalam memimpin. Ada sifat-sifat pemimpin yang dirindukan masyarakat terdapat dalam dirinya: tegas bersikap, cepat bertindak. Soal kata-kata kasar dan kepongahannya, itu dianggap sebagai bagian dari cara memimpin Jakarta yang ruwet oleh berbagai macam mafia.
Jadi, jika PDIP sendiri atau bersama partai lain hendak menandingi Ahok dalam Pilkada nanti, sesungguhnya masih banyak hal yang bisa dimainkan. Memainkan isu Sara jelas tidak akan mengubah keadaan. Demikian juga berharap Ahok jadi tersangka dalam kasus RS Sumber Waras.
Menampilkan tokoh yang punya rekam jejak pemerintahan yang kira-kira sama adalah pilihan paling jitu untuk mengalahkan Ahok. Tapi orang macam ini langka. Wali Kota Surabaya Risma adalah pilihan satu-satunya. Namun Risma ingin bertahan di Surabaya. Bagi PDIP lebih baik Risma diajukan sebagai calon gubernur Jawa Timur.
Jika mencari rekam jejak pemerintahan tidak ketemu, harus lah dicari orang bersih sehingga bisa bersikap tegas dan keras, yang itu hanya dimiliki oleh orang yang tidak berutang budi kepada siapa pun. Ditopang dengan pengetahuan luas tentang problema Jakarta dan visi jelas tentang masa depan ibu kota, maka orang yang tutur katanya terukur tapi tidak ngeles sana sini, pasti bisa menarik hati pemilih Jakarta.