Memaklumi Fahri dengan melihat Ahok
Fahri dan Ahok sama karakter: lugas dan keras. Posisi dan momentum yang membedakannya.
Mungkin Anda termasuk yang sebel dengan pernyataan-pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Lebih-lebih ketika dia membela habis-habisan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Juga ketika dia mengkritik bahkan menyalahkan apapun yang dilakukan oleh KPK dan Presiden Jokowi.
Namun Anda mungkin juga tak rela Fahri dipecat begitu saja, hanya karena membela kolega atau mengkritisi lawan politik. Tentu ada nilai positif dari pernyataan lugas dan keras seorang politisi setelah sekian lama jagad politik dipenuhi basa-basi.
Apalagi sebagai wakil ketua DPR memang menjadi tugasnya untuk mengawasi pemerintah. Sebagai pimpinan partai oposisi, menjadi kewajibannya pula untuk terus mengimbangi pemerintah. Bukankah politik transaksional yang berbuah korupsi selama ini adalah buah kongkalikong partai-partai politik pemerintah dan oposisi?
Soal tutur kata Fahri sesungguhnya tak beda dengan Ahok. Namun orang menyukai Ahok bukan semata kata-katanya. Di balik itu, orang melihat dan menilai Ahok adalah pribadi lurus dan bersih. Tidak punya kepentingan pribadi dan utang budi, sehingga bernyali menghadapi siapa saja: mafia DPRD, mafia birokrasi, mafia prostitusi, mafia tanah, mafia pasar, mafia sampah, dll.
Jika orang berkata lugas dan berterus terang sering dinilai arogan, Ahok tidak peduli. Ahok malah menantang: yang tersinggung, terganggu, dan dirugikan, silakan menghadapinya. Ahok tidak peduli, siapa pun yang hendak mencuri harta Pemda, dilawannya. Satunya kata dan perbuatan adalah kunci Ahok mendapat banyak simpati.
Kelugasan dan ketegasan Fahri sebetulnya tak jauh beda dengan Ahok. Demikian juga dengan rekam jejaknya. Sebagai seorang aktivis mahasiswa yang terjun di dunia politik selama 15 tahun, belum terlihat jejak buruknya. Setidaknya belum ada orang yang bisa menunjukkan bahwa dia ikut serta menjarah uang negara.
Bedanya, Ahok menjalani kehidupan politik secara perseorangan, sedangkan Fahri berpolitik bersama partai yang solid. Sebagai homo politicus, Ahok meloncat dari Partai Indonesia Baru, Partai Golkar, dan Partai Gerindra; sedangkan Fahri ikut membesarkan dan dibesarkan Partai Keadilan dan Partai Keadilan Sejahtera.
Beberapa partai politik punya urusan dengan Ahok, meski Ahok merasa tidak punya masalah dengan mereka. Urusan satu-satunya partai politik adalah mencegah agar Ahok tidak jadi gubernur lagi. Sedangkan Ahok merasa tidak jadi gubernur pun tidak apa. Namun karena dukungan TemanAhok dan warga Jakarta, Ahok maju Pilkada nanti.
Sementara Fahri, yang merasa sudah mati-matian membela PKS, harus menghadapi kenyataan lain: pimpinan PKS saat ini memiliki kebijakan lain, yang berbeda dengan pimpinan PKS sebelumnya. Sebagai kader, Fahri dituntut mengikuti kebijakan pimpinan PKS yang sekarang. Karena tidak mau tunduk dan bahkan melawan, maka dia dipecat.
Manakala tidak menjadi anggota partai lagi, maka tanggal juga status keanggotaannya di DPR. Artinya, Fahri tidak lagi menjadi wakil ketua DPR. Sebagai aktivis, Fahri mungkin siap jadi 'gelandangan' politik, atau jadi aktivis dakwah seperti sebelum berpartai dulu.
Fahri juga bisa terus berpolitik, misalnya dengan menjadi anggota partai politik lain. Tetapi berbeda dengan Ahok, kini Fahri tidak punya momentum Pemilu yang memungkinkan dia masuk Senayan lagi. Sedangkan Ahok punya momentum Pilkada yang bisa membawanya kembali memimpin DKI Jakarta.