Minyak sebagai alat politik
Cerita harga minyak memang tidak semata kisah tentang pasokan dan permintaan.
Setelah OPEC memutuskan untuk mempertahankan pagu produksinya saat pasar kelebihan pasokan minyak, harga minyak makin jatuh dalam beberapa waktu terakhir. Sejatinya kondisi pasar minyak memang telah tertekan oleh banyaknya persediaan, dolar yang lebih kuat dan ketakutan penurunan permintaan akibat ekonomi global melemah.
Patokan AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari, ditutup pada USD 66,15 per barel di New York Mercantile Exchange, jatuh USD 7,54 dari harga penutupan Rabu. Itu penutupan WTI terendah sejak September 2009.
Pada pertemuan OPEC, Kamis (27/11), di Wina, OPEC berada di bawah tekanan permintaan dari anggota miskin, termasuk Venezuela dan Ekuador, untuk memangkas
produksi karena jatuhnya harga sedang menggorogoti pendapatan dan meningkatkan kekhawatiran atas ekonomi mereka. Namun, anggota kartel dari Teluk yang kuat dipimpin oleh Arab Saudi menolak permintaan untuk mengecilkan keran produksinya kecuali pasar saham mereka dijamin, terutama di Amerika Serikat, di mana minyak shale telah berkontribusi terhadap melimpahnya pasokan global.
Bagaimana dampak runtuhnya harga minyak itu terhadap beberapa negara eksportir yang menggantungkan pendapatannya dari minyak? Mari kita lihat Iran terlebih dahulu. Di tengah sanksi dan embargo ekonomi internasional (AS dan Uni Eropa) atas persoalan program nuklirnya, Iran yang dalam 8 tahun terakhir diuntungkan oleh harga tinggi minyak, penurunan harga sangat sensitif bagi Iran. Tak heran Iran telah menuduh dan menyalahkan Arab Saudi atas jatuhnya harga minyak saat ini.
Sementara bagi Arab Saudi yang dalam deretan negara penghasil minyak disebut sebagai “swing producers” (bisa memainkan pasokan di saat naik turunnya permintaan tanpa pengaruh berarti pada pendapatan) tak bisa menghindar dari tuduhan bahwa negaranya tak mau mengurangi pasokan karena ingin menggunakan ketahanan ekonomi jangka pendeknya untuk menekan Rusia terutama terkait dengan dalam perselisihannya melawan Iran atas isu masa depan Suriah.
Venezuela juga menghadapi persoalan gawat dengan melorotnya harga minyak. Bahkan dengan harga 100 Dollar per barel pun Venezuela akan kehabisan devisa. Dalam situasi sekarang ini para pakar memperkirakan Venezuela akan jatuh ke dalam krisis fiskal yang akan dapat memperparah konflik sosial. Mau tak mau pemerintah Venezuela harus melakukan penyesuaian ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan dengan kebijakan-kebijakan yang tidak populer.
Rusia juga berada dalam situasi sulit, terutama dengan adanya manifestasi perang dingin baru. Minyak dan gas merupakan 70% ekpsor Rusia dan APBN Rusia tidak akan bertambah jika harga minyak di bawah 100 USD per barel. Moskow mempunyai cadangan devisa yang cukup namun tidak tak terbatas. Mata uang Rubel telah jatuh 10% dalam satu bulan terakhir.
Namun sejauh ini kebijakan politik luar negeri Rusia tidak terpengaruh. Dukungan untuk Presiden Suriah, Bashar al-Assad tetap kuat dan ada laporan pada akhir bulan lalu bahwa tentara Rusia memasuki Ukraina Timur.
Bagaimana dengan AS? Ada spekulasi bahwa turunnya harga minyak saat ini adalah hasil main mata AS dengan Arab Saudi. Selain menghadapi persoalan dengan Iran dan Rusia, setelah pelajaran yang didapat di Irak dan Afghanistan, AS tak ingin lagi menurunkan pasukannya. Sebaliknya dengan bantuan Aran Saudi, Washington berusaha menurunkan harga minyak dengan membanjiri pasaran dengan minyak mentah (crude). Dengan ketergantungan tinggi Rusia dan Iran pada ekspor minyak, AS berharap keduanya dapat lebih mudah dihadapi.
Keberanian AS untuk memainkan kartu harga minyak dilatarbelakangi oleh adanya peningkatan pasokan minyak dalam negeri dengan teknologi fracking yang menjadikannya berpeluang menjadi produsen minyak terbesar dunia. Dalam sebuah pidato tahun lalu, Tom Donilon, mantan penasehat keamanan nasional Presiden Obama menyatakan bahwa AS sekarang cukup kuat dalam menghadapi goncangan harga minyak dan memperkuat upaya mencapai tujuan keamanan nasional.
Di Indonesia meski harga minyak dunia yang saat ini kembali turun ke level rata-rata USD 70 per barel, pemerintah belum mewacanakan penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi. Pasalnya, pemerintah menilai penurunan harga BBM subsidi harus memperhitungkan harga minyak dunia secara akumulasi dalam setahun. Pemerintah melihat, turunnya harga minyak dunia saat ini sifatnya harian, sementara kebijakan menaikkan harga BBM subsidi didasari oleh pertimbangan harga rata-rata minyak dunia setahunan.
Cerita harga minyak memang tidak semata kisah tentang pasokan dan permintaan. Penetapan harga mengandung muatan sasaran politik. Sasaran yang seharusnya dicapai untuk kemakmuran dan perdamaian dunia.