Netralitas tentara dan organisasi teritoral
Setiap hari, Pangdam, Danrem, Dandim, dan Danramil menghadapi godaan politik sempit.
Harus diakui, di antara institusi-institusi negara, TNI paling banyak mereformasi diri sejak kejatuhan Orde Baru. Bandingkan dengan yang lain: Polri terus sibuk membela diri dari belitan korupsi; sementara birokrasi, selalu jadi biang masalah, kecuali di beberapa pemerintah daerah yang ditegasin oleh kepala daerah yang mumpuni.
Oleh karena itu, kasus survei Babinsa di Jakarta yang ketahuan mempromosikan calon presiden tertentu, langsung menyedot perhatian. Apalagi kemudian, kasus serupa di beberapa daerah juga dilaporkan. Tentu kritik dan protes tidak hanya diarahkan kubu calon presiden yang dikampanyekan oleh Babinsa tersebut, tetapi juga ke pimpinan TNI.
Penglima TNI Jenderal Moeldoko bertindak cepat dan tegas. Melalui pemeriksaan singkat, Babinsa dan Danramil dijatuhi sanksi: dibebastugaskan dan ditunda kenaikan pangkat. Banyak pihak belum puas dengan tindakan itu, karena mestinya sanksi bisa menyasar ke pimpinan lebih tinggi. Namun tindakan cepat dan tegas tersebut tetap patut diapresiasi.
Netralitas TNI dalam pemilu pasca-Orde Baru memang selalu menjadi perhatian. Meskipun secara kelembagaan TNI telah memposisikan diri bebas dari urusan politik, kenyataannya dari pemilu ke pemilu selalu saja ada laporan yang menunjukkan keberpihakan jajaran TNI ke calon presiden tertentu.
Pada Pemilu Presiden 2004 misalnya, di kompleks TNI AL Surabaya, dilaporkan sejumlah perwira mengarahkan anak buahnya agar anggota keluarga memilih salah satu calon presiden. DI Jawa Tengah seorang perwira polisi malah ketangkap basah sedang “sosialisasi” untuk memenangkan calon presiden tertentu.
Pada Pemilu Presien 2009 memang tidak ada kasus tentara yang tertangkap tangan saat mengkampnyekan calon presiden tertentu. Namun banyak orang merasakan, bekerjanya jaringan intelijen tentara untuk menyukseskan satu calon presiden. Ada yang bilang ini bagian dari “operasi senyap” yang dilakukan intensif oleh tim kampanye demi tujuan meraih menang dalam satu putaran.
Latar belakang keterlibatan politik intensif tentara dalam rezim Orde Baru di satu pihak; dan munculnya kasus-kasus tidak netral dalam pemilu di lain pihak; membuat sebagian masyarakat ragu bahwa pimpinan TNI benar-benar terbebas dari pengaruh politik. Apalagi banyak pensiunan jenderal yang menjadi pemain politik.
Namun masalahnya bukan pada ada-tidaknya pensiunan jenderal menjadi pemain politik, tetapi pada sikap elit terhadap netralitas tentara. Sampai sejauh ini, baik elit sipil maupun pensiunan tentara yang telah menjadi sipil, punya pandangan sama: TNI adalah kekuatan penting untuk menakuti lawan, sehingga harus didekati dan dipelihara. Sederhananya, banyak politisi ingin menjadikan tentara sebagai centengnya.
Dalam situasi seperti itu, apabila pimpinan TNI tidak teguh dengan Sapta Marganya, maka mereka akan gampang terkena bujuk rayu para politisi. Bagaimanapun penjagaan posisi dan fungsi TNI untuk tetap netral politik, tidak cukup hanya melalui undang-undang dan peraturan lainnya. Yang tidak kalah penting adalah keteguhan hati dan kejernihan pikiran pimpinan TNI dalam menghadapi godaan politik sempit.
Saatnya, pimpinan TNI harus mengkaji kembali peran organisasi teritorial yang bersentuhan dengan sendi-sendi kehidupan politik. Hubungan sehari-hari Pangdam, Danrem, Dandim, dan Danramil dengan para elit politik daerah sehari-hari bisa berbuah konspirasi untuk mengejar kepentingan pribadi, melupakan kewajiban institusi.
Pimpinan TNI harus membuka mata, hasil kajian sistem pertahanan moderen, model organisasi teritoral sudah diragukan manfaatnya. Jika memang lebih banyak mudaratnya, mestinya pimpinan TNI tidak perlu terus menerus mempertahankannya.