Orang Papua diabaikan dan dimusnahkan
Warga Papua diabaikan dalam segala aspek dan dimusnahkan secara militer.
Socratez Sofyan Yoman, pendeta dan tokoh agama di Papua Barat, mengatakan penduduk asli di distrik-distrik wilayah Papua selama ini terkucilkan karena jumlah mereka kalah banyak dibanding transmigran asal daerah lain. Dalam sebuah perjalanan pada September lalu, dia menaksir hampir 99,9 persen calon penumpang di bandara adalah pendatang.
”Orang asli Papua disingkirkan. Saya melihat di luar banyak orang Papua mengeluh kesulitan membeli tiket. Di sini jelas terjadi disintegrasi solidaritas dengan terbangunnya tebing terjal antara orang asli Papua dengan orang Melayu,” kata dia.
Misalnya, penjual tiket di bandara dikuasai para pendatang Melayu, sehingga calon penumpang asing menjadi prioritas. Di sisi lain harga tiket mahal, begitu juga panjang antrean. Dia sempat membeli tiket dari calo untuk sekali perjalanan dari Wamena ke Jayapura seharga Rp 1,4 juta. Padahal aslinya hanya Rp 800 ribu.
Dia mencontohkan pula, beberapa kali terbang dari Papua ke Jakarta atau sebaliknya dari Jakarta ke Papua. Di dalam pesawat, dia cuma melihat paling banyak tiga orang Papua. Bahkan ketika Socratez naik pesawat dari Jayapura ke Wamena, dia hanya melihat satu orang, bahkan kadang tidak ada orang Papua.
“Lebih menyakitkan hati saya, orang-orang Papua menunggu berjam-jam di bandara tersingkir. Sementara para pendatang mudah sekali mendapat tiket dari petugas. Pemusnahan etnis Papua benar-benar terjadi.”
Keluhan Pendeta Socratez itu hanya satu dari banyaknya persoalan di sana. Mulai dari masalah pendidikan, hukum, politik, kesejahteraan, hingga konflik berkepanjangan antara pemerintah dengan gerakan Papua Merdeka. Puncak dari akumulasi persoalan itu adalah keluarnya Undang-undang Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 sebelas tahun lalu.
Namun Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat Mayjen TNI Wisnu Bawa Juli lalu mengatakan persoalan di pulau terujung Indonesia itu rumit. Sebab, persoalan tidak saja menyangkut keamanan tetapi juga kesejahteraan. ”Kami harus hati-hati karena masalah di sana tidak sekadar masalah keamanan, tetapi kesetaraan, kesejahteraan," kata dia.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku prihatin dengan kondisi Papua. Menurut dia, persoalan Papua sudah lama terjadi, jauh sebelum konflik di Aceh meledak. Kalla menyarankan pemerintah segera memikirkan solusi tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. "Masalah di situ (Papua) sebenarnya bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat cara lebih produktif," tuturnya.
Apa jawaban Socratez? Pendeta itu justru mempertanyakan istilah kesejahteraan bagi Papua. Sebab, menurut dia, sejak pelaksanaan Pepera pada 1969, pemerintah sudah menjanjikan bakal menyejahterakan rakyat Papua. Di tahun sama, Menteri Dalam Negeri Basuki Rachmat juga berjanji di hadapan 175 peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) di Merauke. ”Kenyataannya, penduduk Papua Barat benar-benar terlupakan, terabaikan dalam segala aspek, dan dimusnahkan secara militer,” katanya.