Reshuffle menteri dan kemandirian Jokowi
Kompromi jadi jalan terbaik jika yang jadi terpilih berintegritas dan kompeten.
Presiden Jokowi memenuhi janjinya, mengevaluasi kinerja menteri selama enam bulan pertama. Evaluasi inilah yang kemudian berkembang menjadi isu reshuffle kabinet, setelah terdengar kabar Jokowi tidak puas dengan kinerja beberapa meteri. Jokowi sendiri berkali-kali bilang, menteri yang tidak becus kerja akan diganti.
Mengangkat dan memberhentikan menteri adalah hak presiden. Namun Jokowi tidak hidup dalam ruang hampa. Selain harus minta pertimbangan wakil presidennya, Jokowi juga harus mendengarkan tuntutan partai politik pendukung, yakni mereka yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
JK tentu saja akan fokus pada orang-orang yang dulu direkomendasikan dan diterima Jokowi jadi menteri. Jika tidak buruk-buruk amat kinerjanya, JK akan mempertahankan. Tapi, dia tak bisa berbuat banyak jika Jokowi punya catatan ketidakpuasan yang sangat. Masalahnya: siapa pengganti yang diusulkan JK, dan apakah Jokowi mempercayainya?
Jika memperhatikan sikap Jokowi terhadap JK atas berbagai perbedaan pandangan, Jokowi sepertinya sudah bisa “mengendalikan” JK. Sebagai wakil, JK pun paham, Jokowi bukan tipe pemimpin yang gampang diintimidasi. JK juga sadar, bahwa dirinya tidak punya kekuatan politik penopang. Upaya menarik Partai Golkar masuk dalam KIH melalui kepemimpinan Agung Laksono belum membuahkan hasil.
Yang lebih berat adalah menghadapi KIH. Para elit Partai Hanura, Partai Nasdem, PPP, dan PKB, kompak minta menterinya jangan dicopot. Jika pun tak terhindarkan, penggantinya sebaiknya berasal dari partainya. Mereka tak mau jatah kursi berkurang.
Sementara, beberapa fungsionaris PDIP berterus terang, minta jatahnya ditambah. Karena tidak mau mengganggu kawan koalisi, PDIP tak ingin ambil kursi menteri milik partai lain. Di sinilah kursi para menteri non kader partai menjadi incaran. Berbagai manuver yang muncul bersamaan dengan momentum evaluasi ini, jelas arahnya.
Beredarnya transkrip rekaman menteri merendahkan presiden, jelas menyasar Menteri BUMN Rini Suwandi. Ini serangan paling mematikan untuk menggusur Rini. Sebelumnya, Rini dicap “pengkhianat” Mega dan dituduh sedang membangun kekuatan sendiri dengan menunjuk orang-orangnya sebagai direktur dan komisaris BUMN.
Kursi Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, juga jadi sasaran. Beberapa kesalahan yang dilakukan pejabat Istana, mulai dari kenaikan plafon mobil dinas sampai salah sebut tempat kelahiran Soekarno, oleh elit PDIP dialamatkan kepada Andi Widjajanto.
Tidak ketinggalan kursi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang diduduki Andrinof Chaniago. PDIP menilai dia gagal menerjemahkan Nawa Cita ke dalam desain pembangunan nasional.
Tentu PDIP tak hanya menyasar tiga kursi menteri tersebut. Memburuknya perekonomian nasional, menjadikan para menteri ekonomi sulit berkelit. Ini berlaku mulai dari Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Jalil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Perindustrian Saleh Husin, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Pariwisata Arief Yahya.
PDIP punya alasan kuat untuk memasukkan kader-kadernya ke kursi-kursi kementerian ekonomi. Jika pun tidak ada kader yang tepat, maka PDIP bisa merekomendasikan beberapa nama nonkader yang dianggap kompeten.
Di sinilah komunikasi Ketua Umum PDIP Megawati dengan Jokowi sangat menentukan agar keruwetan dalam menunjuk menteri tidak terulang lagi. Sebagaimana diketahui, menjelang pengumuman kebinet akhir tahun lalu, Jokowi sudah minta beberapa kader PDIP untuk masuk kabinet. Namun Mega tidak berkenan dengan nama-nama tersebut.
Pengangkatan dan pemberhentian menteri memang hak penuh presiden. Namun situasi politik mengharuskan Jokowi harus berunding dengan partai politik. Kompromi sering menjadi jalan terbaik. Yang terpenting adalah menteri terpilih adalah sosok berintegritas dan kompeten.