Kohesi Modal Masa Depan Bangsa
Sikap gotong royong, tenggang rasa dan toleransi, kemajemukan dan keberagaman menjadi modal sosial yang sangat kuat untuk bangsa indoensia dapat maju.
Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki modal sosial. Kemajemukan dan keberagaman yang dimiliki Indonesia bukanlah hal yang melemahkan bangsa ini. Justru dengan sikap gotong royong, tenggang rasa dan toleransi, kemajemukan dan keberagaman menjadi modal sosial yang sangat kuat untuk bangsa indoensia dapat maju.
Saat ini, kemajemukan dan keberagaman yang ada justru terpolarisasi dan memiliki dampak negatif. Polarisasi tersebut telah menghilangkan harmoni diantara warga negara. Polarisasi yang ada juga dimanfaatkan oleh oknum elit untuk menempatkan kepentingannya di atas kepentingan publik. Nilai-nilai demokrasi juga digunakan untuk memperkeruh polarisasi yang ada dengan dalil kebebasan berpendapat.
-
Kapan kalimat opini biasanya muncul? Menunjukkan peristiwa yang belum pasti terjadi atau terjadi dikemudian hari.
-
Siapa yang bisa membuat kalimat opini? Merupakan pikiran atau pendapat seseorang maupun kelompok.
-
Kenapa libur nasional penting? Libur nasional memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk beristirahat, bersantai, dan mengisi ulang energi setelah bekerja atau belajar dengan keras. Libur nasional juga dapat meningkatkan kesehatan mental dan fisik, serta produktivitas kerja.
-
Apa bedanya fakta dan opini? Fakta dan opini merupakan dua hal yang sering dikaitkan satu sama lain. Dua kata ini sering kali disebut dalam berita, berbagai macam buku, hingga jurnal penelitian. Bukan hanya itu, fakta dan opini juga sering dibahas dalam kehidupan sehari-hari di berbagai topik.Dalam hal ini, fakta dan opini adalah dua hal yang berbeda, bahkan saling bertolak belakang.
-
Apa yang membedakan kalimat fakta dan opini? Kalimat fakta dan opini memiliki fungsi dan tujuan yang tak sama.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Jika dahulu perbedaan menjadi pemicu bangsa ini untuk bersatu, saat ini perbedaan justru menjadi hal yang dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk terus berkonflik demi kepentingannya. Jika kondisi ini terus berlangsung, Indonesia berpotensi menjadi negara gagal sebagaimana dicirikan oleh Fukuyama yaitu meningkatnya konflik antar kelompok.
Kebangkitan Nasional sebagai Modal Sosial
Berdirinya Budi Utomo merupakan cikal bakal kebangkitan sikap nasionalisme bangsa Indonesia yang kemudian berhasil mengantarkan bangsa ini pada kemerdekaannya. Kemerdekaan yang kita rasakan saat ini, tidak lahir begitu saja tanpa usaha kolektif dari seluruh lapisan (bahkan golongan, ras, dan agama) rakyat Indonesia. Usaha kolektif tersebut muncul karena adanya semangat persatuan.
Di tengah perbedaan suku, agama dan ras, secara sadar para founding father kita mendeklarasikan bahwa mereka satu tumpah darah dan satu bangsa. Hal tersebut juga dikonkretkan dengan penggunaan satu Bahasa sebagai alat pemersatu mereka.
Rangkaian peristiwa sejak berdirinya Budi Utomo tersebut merupakan suatu modal sosial yang dimiliki bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaannya. Modal sosial, menurut Fukuyama, merupakan seperangkat nilai norma yang hidup dan dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dapat dilakukan jika ada kemampuan masyarakat melakukan asosiasi satu sama lain.
Kemampuan berasosiasi ini sangat tergantung pada kemauan saling berbagi dalam mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai bersama. Ketika nilai-nilai dan norma-norma tersebut memiliki titik temu, maka pada akhirnya kepentingan kelompok akan menjadi lebih utama dibandingkan kepentingan individu. Hal inilah yang menurut Fukuyama disebut sebagai trust.
Modal sosial inilah yang akan membawa suatu bangsa untuk terus maju dan menjadi lebih baik. Bagi bangsa Indonesia, modal sosial sesungguhnya telah hidup dalam masyarakat kita sejak dahulu kala. Sejak kecil kita selalu diajarkan sikap gotong royong, tenggang rasa dan toleransi.
Para founding father bangsa ini sesungguhnya sadar betul bahwa rakyat Indonesia sangatlah majemuk, sehingga menguatkan modal sosial merupakan keharusan untuk menjaga keutuhan kita sebagai suatu bangsa. Dalam pidato pada 1 Juni 1945, Bung Karno pada waktu itu menyatakan bahwa, jika Pancasila diperas menjadi satu sila saja, maka sila itu adalah gotong royong.
Modal sosial dan trust tidak dapat hidup begitu saja, seperti tanaman, tidak cukup hanya sekedar ditanamkan, tetapi harus terus dipupuk dan dijaga. Peran ini harus dilakukan oleh para elit, akademisi, aparat penegak hukum, dan pemerintah. Para akademisi harus memupuk nilai-nilai nasionalisme dalam kelas-kelas dan setiap publikasinya.
Aparat penegak hukum melakukan penegakan hukum yang seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Pemerintah membuat kebijakan yang tidak hanya mementingkan kelompok pendukungnya semata tapi untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa.
Sayangnya, saat ini modal sosial bangsa Indonesia mulai kehilangan trust. Hal ini dapat kita lihat dari semakin terpolarisasinya pandangan-pandangan masyarakat baik itu soal politik, sosial maupun keagamaan.
Perbedaan pandangan tersebut sesungguhnya merupakan cerminan dari kemajemukan bangsa Indonesia. Permasalahannya adalah, polarisasi ini pada akhirnya menimbulkan berbagai keresahan bagi masyarakat. Polarisasi ini menimbulkan kebencian, sinisme dan stigmatisasi antar kelompok.
Kekhawatiran Fukuyama terhadap ancaman abad 21 hampir terlihat sangat nyata di Indonesia. Salah satu tanda gagalnya suatu negara adalah pada abad 21 adalah adanya konflik antar-kelompok. Hal inilah yang membutuhkan penanganan segera.
Diperlukan suatu kohesi dalam berbangsa untuk mengurangi dampak negatif dari perbedaan. Karena sesungguhnya, perbedaan dan kemajemukan jika dibungkus dengan nilai-nilai sikap gotong royong, tenggang rasa dan toleransi merupakan suatu berkah yang dimiliki bangsa ini.
Peningkatan Literasi dan Penguatan Teknologi Pasca Pandemi
Polarisasi yang terjadi saat ini dapat kita lihat sebagai akibat dari beberapa faktor yang bersifat internal maupun eksternal. Secara internal polarisasi ini muncul sebagai akibat dari perebutan kekuasaan politik. Masing-masing kelompok berupaya melakukan klaim dengan tujuan meraih simpati masyarakat. Permasalahannya adalah, klaim tersebut dibarengi dengan berita bohong, ujaran kebencian dan stigmatisasi terhadap suatu pandangan.
Inilah yang membedakan pergerakan pada 1908 dan saat ini. Jika dahulu para founding father sibuk mencari titik-temu atas perbedaan yang ada, saat ini yang terjadi adalah kita sibuk menonjolkan perbedaan yang kita miliki sebagai klaim bahwa pandangan kitalah yang paling benar dan paling baik. Dalam kondisi ini, tidak mungkin akan muncul trust.
Hilangnya sikap gotong-royong, tenggang rasa dan toleransi juga dapat kita lihat sebagai akibat dari faktor eksternal. Paling tidak ada dua faktor utama, yaitu semakin berkembangnya teknologi dan media sosial yang tidak dibarengi dengan budaya literasi serta wabah covid-19 yang memaksa kita untuk berjarak secara fisik.
Penggunaan teknologi dan media sosial pada dasarnya memiliki nilai positif, namun tanpa budaya literasi yang baik, penguasaan teknologi dan media sosial hanya akan membawa bencana. Tanpa literasi yang baik membuat kita menjadi lupa bagaimana untuk dapat bersosialisasi dengan manusia di dunia nyata.
Minimnya budaya literasi membuat pengguna teknologi dan media sosial hanya tau bahwa mereka memiliki hak atas kebebasan berpendapat, tanpa peduli apakah pendapatnya dapat melanggar hukum atau bahkan melukai perasaan pembacanya (hal mana yang tidak mungkin kita ucapkan di depan orang yang akan sakit hati mendengarnya). Penggunaan akun anonim (sebagai hak dalam bermedia sosial) dan penggunaan akun-akun bot yang tidak bertanggung jawab seringkali disalahgunakan untuk melakukan hal-hal yang dapat merusak persatuan bangsa.
Sementara itu, wabah covid-19 membuat kita harus secara fisik memisahkan diri dari orang lain dan kelompok masyarakat di sekitar kita. Kondisi ini membuat kita lupa bagaimana untuk mempraktikan nilai gotong royong dalam masyarakat. Walaupun pada faktanya banyak juga orang, atau kelompok orang yang tetap menunjukkan sikap gotong royong dan tenggang rasanya selama masa pandemi ini.
Kohesi sosial sangat diperlukan dalam masyarakat yang terpolarisasi. Kohesi merupakan prasyarat mutlak lahirnya kolaborasi dan gotong royong. Kita harus bisa memanfaatkan Kemajuan teknologi dan media sosial sebagai alat persatuan. Pelibatan setiap elemen bangsa di setiap pelosok negeri yang tadinya hanya angan semata, saat ini sangat dimungkinkan dengan pemanfaatan teknologi dan media sosial.
Dahulu para individu berinisiatif untuk bersatu dan membangun sebuah bangsa merdeka. Saat ini setelah bangsa ini merdeka selama 77 tahun peran pemerintah juga harus dibarengi dengan kesadaran setiap individu bahwa mereka adalah bagian dari solusi setiap masalah bangsa.
Setelah pandemi yang kita masuki bukan “new normal” tapi suatu kondisi yang layak disebut “new dynamic” di mana perubahan akan terus terjadi dengan fase yang cepat. Dibutuhkan kemampuan beradaptasi dan resiliensi menghadapi kondisi dinamis baru ini.
Melalui kohesi kebangsaan dan dengan semangat persatuan mari kita wujudkan Indonesia sebagai negara yang kokoh dan maju. Pada intinya, jalan menggenggam masa depan tidak perlu muluk-muluk, perkuat modal sosial yang ada dan perkuat literasi termasuk literasi dunia digital dan teknologi dengan berpegang pada semangat untuk membangun kohesi, memahami perbedaan yang ada diantara saudara sebangsa dan setanah air. Semua ini bagian dari modal membangun kemampuan beradaptasi dan memiliki ketahanan sebagai individu dan bangsa.
(mdk/noe)