Pertamina sudah larang Pertamini
Dengan nama yang mirip-mirip Pertamina, tempat pengisian BBM berukuran kecil ini belakangan banyak beredar.
Bisnis bensin eceran kerap dijumpai di sejumlah wilayah, terutama di kawasan pemukiman penduduk. Keberadaannya dianggap mempermudah mereka yang jauh jika harus menjangkau stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) resmi. Satu yang terkenal adalah Pertamini.
-
Mengapa Pertamina mengkaji peningkatan kadar oktan BBM Subsidi? “Kalau misalnya dengan harga yang sama, tapi masyarakat mendapatkan yang lebih baik, dengan octan number lebih baik." Nicke menegaskan, Program Langit Biru Tahap 2 ini merupakan kajian internal di Pertamina dan untuk implementasinya nantinya akan diusulkan kepada pemerintah, dan nantinya akan jadi kewenangan pemerintah untuk memutuskan.
-
Apa yang sedang dilakukan Pertamina untuk menghemat anggaran di BBM dan LPG Subsidi? Bekerjasama dengan lintas instansi, upaya tersebut berhasil membantu Pertamina dapat melakukan penghematan sebesar 1,3 Juta kilo liter (KL) untuk Solar Subsidi dan 1,7 Juta KL untuk Pertalite.
-
Kapan Pertamina berhasil mengurangi penyalahgunaan BBM bersubsidi? Sejak implementasi exception signal ini pada tanggal 1 Agustus 2022 hingga 31 Desember 2023, Pertamina telah berhasil mengurangi risiko penyalahgunaan BBM bersubsidi senilai US$ 200 juta atau sekitar Rp 3,04 trilliun.
-
Mengapa Pertamina ingin meningkatkan kualitas BBM Subsidi? Pertamina pernah menjalankan Program Langit Biru dengan menaikkan (kadar oktan) BBM Subsidi dari RON 88 ke RON 90.
-
Kenapa Pertamina membentuk Satgas RAFI? Sukses Layani Jutaan Pemudik, Pertamina Resmi Tutup Satgas RAFI Satuan Tugas Ramadan dan Idulfitri (Satgas RAFI) PT Pertamina (Persero) tahun 2024 telah sukses melayani kebutuhan energi jutaan pemudik di seluruh Indonesia.
-
Mengapa Pertamina terus berupaya untuk memastikan BBM bersubsidi tepat sasaran? Pertamina, lanjut Nicke, akan terus berupaya untuk agar BBM bersubsidi secara optimal dikonsumsi oleh yang berhak. Upaya-upaya tersebut antara lain penggunaan teknologi informasi untuk memantau pembelian BBM Bersubsidi di SPBU-SPBU secara real time untuk memastikan konsumen yang membeli adalah masyarakat yang berhak.
Dengan nama yang mirip-mirip Pertamina, tempat pengisian BBM berukuran kecil ini belakangan banyak beredar. Ada beberapa pihak yang menjual paket tempat pengisian BBM ini dengan harga Rp 2 juta-Rp 3 juta. Pertamina sendiri sudah melarang produk eceran tidak resmi seperti ini. Pelarangan tidak lain karena BBM yang dijual terhitung sebagai produk subsidi.
"Pelarangan bahan bakar yang eceran kan sebenarnya lebih ke bahan bakar yang bersubsidi. Misalnya solar. Kan ada industri-industri juga yang tidak boleh menggunakan bahan bakar bersubsidi. Kalau Dex, Pertamax, kami malah jual yang kemasan. Ada yang kemasan," ujar Muhammad Resa, Asisten Manager Brand Communication PT Pertamina.
Dia sendiri mengaku tidak bisa bicara jauh mengenai keberadaan Pertamini. Yang pasti, usaha tersebut tidak melibatkan Pertamina.
"Kalau misalnya itu saya enggak tahu dari mana. Itu bukan dari Pertamina," ujarnya yang setelah didesak hanya bisa bicara bahwa ada etika bisnis di tiap daerah yang tidak bisa dibicarakan. Ia juga menyebutkan bahwa penjualan BBM eceran dimungkinkan di suatu daerah atas izin dari pemerintah daerahnya.
Legalitas penjualan bensin eceran ini terkait dengan izin yang diwajibkan menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 23 berbunyi bahwa "(Ayat 1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah. (ayat 2) Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas ... (antara lain) Izin Usaha Niaga."
Sanksi pun telah disiapkan bagi para pelanggar. Sanksi tersebut berupa denda paling tinggi hingga Rp 30 miliar, seperti tertulis dalam UU yang sama di Pasal 53.
"Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah)."
(kpl/why/lrs)(mdk/otosia)