112 Tahun Bung Karno, semangatnya masih dibutuhkan Indonesia
Bung Karno percaya Indonesia bisa menjadi sebuah bangsa besar tanpa bergantung kepada asing.
Hari ini, 112 tahun yang lalu, seorang bayi mungil bernama Koesno Sosrodihardjo dilahirkan di Surabaya. Tak ada yang menyangka bayi yang lahir dari rahim Ida Ayu Nyoman Rai itu nantinya memimpin sebuah bangsa besar yang memiliki kekayaan alam luar biasa yakni Indonesia.
Koesno Sosrodihardjo merupakan nama kecil dari Soekarno . Nama itu diberikan oleh ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo saat Soekarno baru dilahirkan ke dunia. Namun, sang ayah mengubah nama Koesno menjadi Soekarno ketika berusia lima tahun karena kerap sakit-sakitan.
Sejak kecil, nasionalisme Bung Karno terhadap ibu pertiwi tak usah diragukan lagi. Salah satu contohnya, saat kecil Bung Karno rela babak belur berkelahi dengan anak-anak Belanda demi harga diri bangsa.
Setelah beranjak dewasa, nasionalismenya kian kuat. Bung Karno tak rela Tanah Airnya terus menerus dijajah oleh Belanda dan Jepang. Kemampuannya berorasi di depan rakyat banyak dinilai membahayakan oleh penjajah.
Apalagi, saat itu Bung Karno merupakan seorang aktivis politik kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, Bung Karno kenyang keluar masuk penjara dan dibuang ke daerah terpencil oleh penjajah.
Namun hal itu tak membuat semangatnya kendur. Dengan dukungan dari istri tercintanya kala itu, Inggit Ganarsih, Bung Karno menjalani semuanya dengan teguh.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Bung Karno didaulat menjadi Presiden RI yang pertama didampingi Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI pertama. Bung Karno sadar Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan luar biasa dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki.
Bung Karno percaya Indonesia bisa menjadi sebuah bangsa yang besar dan berdiri di atas kaki sendiri tanpa bergantung kepada negara atau pihak asing. Semangatnya membuat Republik menjadi bangsa maju dan terdepan seakan tak terbendung.
"Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu. Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bistik tetapi budak. Tradisi Bangsa lndonesia bukan tradisi tempe. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok," kata Bung Karno saat berpidato pada HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1963.
Di masanya, Bung Karno merupakan Presiden RI yang kukuh memiliki sikap anti-imperialisme. Dia menolak ekonomi kapitalism yang dianut oleh negara-negara barat. Sebab, dia tahu hal itu merupakan penjajahan gaya baru di bidang ekonomi dan tidak akan menguntungkan Indonesia.
Semangat mengebu-ngebu dan keberanian Bung Karno kepada negara-negara barat bahkan sempat menjadi perbincangan dunia kala ia mengeluarkan pernyataan 'Amerika kita Setrika, Inggris kita linggis.'
"Segenap kita punya tenaga, kita punya kemauan, kita punya tekad, harus kita tujukan pada hancur leburnya Amerika dan Inggris. Selama kekuasaan Inggris dan Amerika belum hancur lebur maka Asia dan Indonesia tidak bisa selamat. Karena itu semboyan kita sekarang ini adalah hancurkan kekuasaan Amerika, hancurkan kekuasaan Inggris. Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, Amerika kita setrika, Inggris kita linggis," kata Bung Karno .
Hal ini seakan berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia saat ini. Jika Bung Karno dulu mengharamkan ketergantungan terhadap pihak asing, Indonesia kini justru seakan memiliki kewajiban untuk bergantung kepada asing.
Salah satu contohnya adalah pengelolaan kekayaan alam Indonesia oleh asing seperti Freeport di Papua, ketergantungan Indonesia atas impor berbagai macam barang kebutuhan. Parahnya, bawang putih dan daging sapi harus diimpor. Padahal Indonesia merupakan negara subur yang berada di bawah garis khatulistiwa.
Meski telah 68 tahun merdeka, Indonesia saat ini masih membutuhkan semangat seorang Soekarno untuk membangun dan bangkit dari keterpurukannya.