40 Tahun jual kinang di Sekaten, nenek Suto tak kenal lelah
Dia percaya dengan berjualan dan mengunyah Kinang, selain baik untuk kesehatan juga membuat awet muda.
Perayaan Sekaten sebagai rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kasunanan Surakarta, tak bisa lepas dari pernak-pernik yang mengikutinya. Sepekan sebelum puncak perayaan, ditandai dengan keluarnya sepasang gamelan Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu di Bangsal Pradangga Masjid Agung, selalu disertai dengan pedagang dadakan. Mereka menjual kinang, pecut, endog abang dan nasi gurih.
Salah satu penjual Kinang di halaman masjid Agung adalah Suto Dimejo, warga Banyudono Boyolali. Nenek beusia 80 tahun ini mengaku sudah 40 tahun berjualan Kinang dan telur asin.
"Sampun saking yuswa 40 tahun kula sadean wonten Sekaten mas (sudah sejak umur 40 tahun saya jualan di Sekaten, mas)," ujarnya.
Meski sudah renta dan lama berjualan, dia mengaku tak bosan berjualan. Dia percaya dengan berjualan dan mengunyah Kinang, selain baik untuk kesehatan juga membuat awet muda dan mendapatkan berkah dari Tuhan.
"Nginang niku kajenge bagas waras, awet enom, angsal barokah saking Gusti Allah (ngunyah sirih itu biar sehat, awet muda, mendapat berkah dari Allah)," katanya.
Dia mengaku mengonsumsi kinang atau nyirih sejak muda. Hingga berumur 80 tahun, kata dia, hampir tidak pernah mengalami gangguan pada gigi. Atas kecintaannya terhadap tradisi yang mulai langka tersebut, dia rela berjualan Kinang setiap tahunnya di Sekaten, walaupun harus menahan panas matahari.
Saat perayaan Sekaten, dalam sehari Nenek Suto bisa menjual Kinang antara 30 hingga 40 biji dengan harga Rp 1000-Rp 2 ribu. Sementara telor asin yang dia jual dengan harga Rp 2.500 dalam sehari rata-rata terjual 50 biji. Keuntungan tersebut, kata dia cukup membantu perekonomian rumah tangga.
"Anak saya 8, sampun mentas sedaya (sudah nikah semua). Jadi artone (uangnya) buat saya saja," ucapnya.
Suratmi (48), warga Mojosongo, Boyolali mengaku sudah berlangganan Kinang dan telur asin di Nenek Suto selama 5 tahun. Dia mengaku sering datang ke Sekaten dan pulang membawa Kinang serta telur untuk anak-anaknya.
"Kalau ada Sekaten, saya sering ke sini. Mirengke (dengerin) gamelan ditabuh, sambil nginang dan makan telur, biar mendapat barokah dari Yang Kuasa," kata dia.
Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KP Winarno Kusumo mengatakan nginang dalam sekaten mengandung makna tersendiri. Ketika nginang, maka bibir akan berwarna merah.
"Ada maknanya sendiri bagi masyarakat Jawa, merah itu mengandung makna berani. Ada sebagian lagi yang mengatakan warna merah melambangkan kesucian. Nginang saat Sekaten dapat berarti harus berani mengatakan hal-hal yang benar, mengucapkan syahadat, memeluk agama Islam sebagai agama suci," katanya.