Ahli sebut Kejagung salah alamat usut kasus Setya Novanto
Rekaman percakapan antara Setya Novanto, Riza Chalid dan Maroef Sjamsoeddin disebut ilegal.
Kejaksaan Agung belum juga menetapkan seorang tersangka dalam kasus pemufakatan jahat yang membelit mantan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid. Di sisi lain, pengusutan yang dilakukan Kejaksaan Agung dalam kasus ini dinilai salah alamat, khususnya soal bukti rekaman percakapan yang disebut sebagai pemufakatan jahat dalam upaya perpanjangan kontrak Freeport.
Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Syaiful Bakhri menilai, pasal 15 Undang-undang No 3 tahun 1999 Jo Undang-undang no 20 tahun 2001 yang dituduhkan Kejaksaan Agung kepada Setya Novanto tidak relevan.
Sebab, jika mengacu pada perolehan bukti yang dilakukan Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin maka rekaman yang dilakukan oleh Maroef diambil secara ilegal dan tak memiliki dasar hukum.
Syaiful mencontohkan, seperti halnya, frasa alat bukti yang sah dalam KUHAP, setidaknya mengandung dua arti penting. Yang pertama terkait jenis perolehan bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 KUHAP, dan cara perolehan bukti tersebut.
Seperti halnya, ujar dia, keterangan terdakwa merupakan salah satu jenis bukti yang sah dalam KUHAP, namun kekuatan pembuktian dari keterangan terdakwa juga harus memiliki keterkaitan dengan cara perolehannya, apakah keterangan itu diberikan secara sukarela, ataukah dengan tipu daya, atau didapat dengan tipu daya.
"Jika barang bukti didapat dari paksaan, bagaimana kekuatan pembuktiannya?" ujar Syaiful dalam surat perlindungan hukum Setya Novanto kepada Jampidsus Kejagung yang dikutip merdeka.com, Minggu (3/1).
Jika mengacu pada kasus yang dituduhkan kepada Setya Novanto, ujar dia, rekaman pembicaraan secara ilegal yang diserahkan Maroef Sjamsoeddin yang saat ini ditangani Kejaksaan Agung justru merupakan masuk ranah pidana.
Terlebih, rekaman pembicaraan antara Maroef, Setya Novanto dan Riza Chalid secara jelas diambil tanpa adanya hubungan hukum dan justru berpotensi melawan hukum, karena adanya kekeliruan persepsi antara objek yang kemudian direkam dengan keadaan dimana rekaman itu diambil.
"Apabila perekaman pembicaraan yang dilakukan tanpa hubungan hukum antara kewenangan perekaman dengan isi pembicaraan, maka sama halnya dengan penyadapan tanpa izin justru merupakan tindak pidana," ujar dia.