Ahok disebut kafir, dulu Bang Ali digelari gubernur maksiat
Memang bukan perkara gampang mengurus Jakarta. Ada saja serangan yang datang.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sering diserang dengan isu SARA. Sering sekali Ahok digelari gubernur kafir oleh ormas-ormas yang langganan menyerangnya. Biasanya setiap habis menggusur serangan makin sering.
Namun Ahok cuek saja. Dia menegaskan akan tetap galak melawan mereka yang merampok uang rakyat. Ahok yakin cuma segelintir orang yang mengatasnamakan agama untuk nencaci maki dirinya.
"Mimbar itu seharusnya digunakan untuk mengajarkan yang baik, mengajarkan bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan. Tapi sekarang ada beberapa oknum yang menggunakan mimbar untuk dipakai politik dan cuma dipakai untuk ngatain Plt Gubernur sebagai seorang kafir," curhat Ahok saat bertemu para ulama di Jakarta.
Jika melihat sejarah, tak cuma Ahok gubernur yang sering dimaki-maki. Gubernur legendaris Jakarta Ali Sadikin atau Bang Ali pun kerap disindir dan diserang. Namun Bang Ali cuek saja selama demi membangun Jakarta.
Saat Bang Ali memimpin Jakarta tahun 1966, 60 Persen atau sekitar 3 juta warga kota tinggal di daerah pemukiman kumuh. Dari angka itu, lebih dari 60 persen anak-anak tidak bersekolah. Kondisi itu diperparah dengan masalah keamanan yang mendesak segera dibenahi, dan Para PNS yang digaji tidak memadai. Sedangkan kas pemerintah daerah hanya Rp 18. Ya benar, 18 rupiah!
Maka Bang Ali membuat gebrakan. Dia mengadakan lotto/hwa-hwe (semacam judi) yang dilegalkan. Selain itu Bang Ali juga menaikkan pajak balik nama kendaraan bermotor, memungut pajak judi untuk kaum Tionghoa, dan juga melokalisasikan para PSK di Kramat Tunggak.
Akibat gebrakan tersebut Bang Ali mendapat sorotan publik. Dia dijuluki Gubernur Maksiat dan istrinya dijuluki Madame Hwa-Hwe. Namun Bang Ali menanggapi julukan itu dengan perasaan cuek, karena semua itu juga untuk kebaikan warga.
Dengan tenang Bali Ali kumpulkan ulama se-Jakarta. Dia dengarkan semua kritik mereka. Lalu dia berkata:
"Kalau begitu silakan Bapak keluar pesantren dengan naik helikopter, karena semua jalan yang mulus dan fasilitas kota itu dibangun dengan hasil pajak dari judi," kata Bang Ali.
Bang Ali berpikir kenapa orang Tionghoa kalau mau berjudi harus keluar negeri dan buang-buang uang di sana. Kenapa tidak di Jakarta saja dengan pajak yang besar. Dengan demikian uang tidak kabur kemana-mana.
Saat itu para ulama bisa menerima penjelasan Bang Ali. Memang tak mudah mengurus Jakarta.